JAKARTA (Suara Karya): Penyidik Bareskrim Polri, Berry Ballen Saputra meraih gelar doktor di bidang ilmu hukum dari Universitas Borobudur, Jakarta, Selasa (8/7/25).
Ia berhasil mempertahankan disertasinya berjudul ‘Rekonstruksi Penggabungan Dalam Penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang Dengan Pidana Asal’.
“Penelitian itu dibuat karena ada ketidakpastian hukum terkait kewenangan penyidik dalam menggabungkan penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan tindak pidana asal di Kepolisian Republik Indonesia,” kata mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Angkatan 25 itu.
Perolehan gelar doktornya menambah deretan panjang prestasi akademik Berry Ballen Saputra, yaitu Sarjana Teknik (ST), Sarjana Hukum (SH), Magister Sains (MSi), dan Magister Hukum (MH).
Ia kembali menjelaskan, Pasal 75 Undang-Undang (UU) TPPU memperbolehkan penggabungan penyidikan, jika ada bukti permulaan yang cukup. Penyidik dapat menggabungkan TPA dan TPPU namun menimbulkan penafsiran beragam dalam praktik.
Problematik sering terjadi, lanjut Berry, ketika bukti TPPU muncul setelah perkara asal diputus, atau aset baru teridentifikasi setelah kasus selesai.
“Tantangan ini diperparah oleh keterbatasan kewenangan penyidik tertentu dalam menyidik TPPU, yang membutuhkan koordinasi antar instansi,” tuturnya.
Meski Putusan MK Nomor
15/PUU-XIX/2021 memperluas definisi ‘penyidik tindak pidana asal’, tetap diperlukan pedoman yang lebih tegas untuk memastikan konsistensi dan efektivitas dalam penegakan
hukum serta pemulihan aset kejahatan.
Dari penelitian itu, Berry menemukan efektivitas penegakan hukum dalam penyidikan TPPU di Kepolisian Republik Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. Antara lain, kurangnya panduan dan mekanisme yang jelas, keterbatasan
pelatihan khusus bagi penyidik, serta lemahnya koordinasi antar lembaga penegak hukum.
“Kurangnya pemahaman yang mendalam di kalangan penyidik terkait kompleksitas TPPU, ditambah minimnya sinergi antara penyidik, jaksa, dan hakim, menyebabkan proses hukum tidak berjalan optimal dan sering mengabaikan kepentingan korban,” ujarnya.
Untuk memaksimalkan penyidikan TPPU, penelitian merekomendasikan metode penggabungan penyidikan yang dilaksanakan melalui penerapan standar operasional prosedur yang terstruktur, pelatihan berkelanjutan bagi penyidik, serta penguatan koordinasi antarlembaga.
“Hal itu guna menempatkan pemulihan kerugian korban sebagai fokus utama proses hukum,” paparnya.
Dalam Pasal 75 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang dikatakan, penggabungan penyidikan dapat dilakukan jika terdapat bukti permulaan yang cukup. Namun ketentuan itu tidak diatur secara rinci terkait kategori pidana asalnya dan besar kerugiannya.
“Selain juga ada perbedaan interpretasi antar penyidik terkait alat bukti yang cukup, hal itu menyebabkan keraguan untuk digabungkan penyidikan TPA dan TPPU,” ucapnya.
Ketidakpastian itu mengarah pada praktik yang tidak konsisten, di mana penggabungan penyidikan sering kali tergantung pada penilaian subjektif masing-masing penyidik. Hal ini berisiko menurunkan efektivitas penegakan hukum dan merugikan korban serta negara.
Proses penggabungan penyidikan TPPU dengan TPA juga menghadapi berbagai tantangan operasional. Ketidakterpaduan dalam pendekatan hukum dan kurangnya koordinasi antara lembaga penegak hukum menjadi masalah yang cukup signifikan.
“Penggabungan penyidikan seharusnya dilakukan untuk jenis TPA yang masuk dalam kategori kejahatan berat, seperti narkotika, korupsi, terorisme, serta
kejahatan ekonomi dengan dampak yang luas,” katanya.
Tanpa adanya panduan yang jelas dan standar operasional prosedur (SOP), penyidik sering mengalami kebingungannya sendiri dalam mengidentifikasi kapan penyidikan tersebut harus digabungkan atau dipisahkan.
“Untuk itu, diperlukan rekonstruksi dalam penggabungan penyidikan berdasarkan klasifikasi TPA yang relevan dengan karakteristik dan dampaknya,” kata Berry.
Selain masalah operasional, menurut Berry, ketidakpastian itu juga berpotensi menghambat pemulihan aset yang berasal dari tindak pidana. Penyidik yang tidak menggabungkan
penyidikan TPPU dengan tindak pidana asal mengurangi peluang untuk melakukan asset recovery, sehingga menghalangi pemanfaatan kembali hasil kejahatan untuk kepentingan negara dan korban.
Salah satu faktor penyebabnya, disebutkan, kurangnya standar prosedural yang dapat memberi panduan yang jelas bagi penyidik dalam menentukan kapan penggabungan tersebut seharusnya dilakukan.
“Dampaknya, proses pemulihan aset tidak berjalan optimal. Hal itu memperburuk ketidakadilan bagi korban kejahatan,” tuturnya.
Pentingnya rekonstruksi dalam penggabungan penyidikan TPPU dengan TPA didorong oleh perubahan regulasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang memasukkan TPPU sebagai kejahatan berat dalam kategori tindak pidana khusus.
“KUHP baru, yang akan berlaku pada 2 Januari 2026, mengelompokkan TPPU bersama dengan kejahatan serius lainnya, seperti narkotika, korupsi, dan terorisme dengan memperkenalkan sistem baru yang menyatukan berbagai norma terkait dalam satu kode hukum pidana nasional,” katanya.
Dengan adanya perubahan ini, maka penyidik perlu diberi pedoman yang lebih jelas, tentang kapan dan bagaimana penyidikan TPPU harus digabungkan dengan TPA, untuk menghindari inkonsistensi hukum dan memastikan penyidikan yang lebih efisien dan efektif.
“Penelitian ini berfokus pada masalah ketidakpastian hukum dan perlunya penyusunan pedoman yang lebih rinci terkait penggabungan penyidikan TPPU dengan TPA,” ujar Berry.
Hal itu bertujuan untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum dalam TPPU dengan menekankan pentingnya penyusunan prosedur yang lebih jelas dan sistematis.
Penyidik perlu mendapat pelatihan dan sosialisasi yang cukup agar dapat membuat keputusan yang lebih konsisten dan adil dalam menangani kasus-kasus TPPU.
Pengembangan SOP yang komprehensif dan evaluasi berkala atas pelaksanaan kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas penyidikan dan memaksimalkan pemulihan aset hasil kejahatan, serta memberik keadilan yang lebih konkret bagi korban.
Berry Ballen Saputra, lulus di bawah bimbingan Prof Dr Suparji Ahmad, SH, MH selaku Promotor, dan Dr Subianta Mandala, SH, LLM selaku Ko Promotor.
Hadir pula dalam acara sidang terbuka, Rektor Universitas Borobudur, Prof Ir H Bambang Bernanthos.
Dewan penguji sidang terbuka promosi doktor ilmu hukum, antara lain Ketua tim penguji, yang juga Wakil Rektor I Universitas Borobudur, Prof Dr Ir Rudi Bratamanggala, MM; dan Direktur Program Pascasarjana Universitas Borobudur, Prof Dr H Faisal Santiago.
Penguji Dalam Institusi, Prof Dr Abdullah Sulaiman, SH, MH; dan Penguji Luar Institusi dari Universitas Pamulang, Prof Dr Oksidelfa Yanto SH, MH. (Tri Wahyuni)

