JAKARTA (Suara Karya): Kontroversi pembangunan Gedung Kedubes India setinggi 18 lantai kembali viral di platform sosial media Tiktok. Sejumlah netizen mempersoalkan keganjilan keberadaan apartemen di dalam area perwakilan negara asing. Beberapa konten bahkan menembus ratusan ribu likes dan komentar.
Polemik pembangunan 18 lantai Kedubes India, dan bagaimana perlawanan warga sekitar yang terdampak proyek, sejatinya bukan informasi baru. Bahkan masalah ini sudah diputuskan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dengan nomor perkara 93/G/2024/PTUN.JKT. Majelis hakim PTUN memenangkan gugatan warga.
“Warga kembali meramaikan kasus ini, karena permohonan banding yang diajukan Pemprov DKI atas putusan PTUN sebelumnya, akan segera disidangkan,” ungkap pengacara senior David Tobing yang juga kuasa hukum warga, saat dihubungi Selasa (26/11).
Lalu, bagaimana awal mula kasus ini dan mengapa Pemprov DKI kalah melawan warga? berikut ringkasannya.
Pertama, masalah ini bermula dari izin Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) yang diterbitkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi DKI Jakarta. Berbekal PBG inilah, kontraktor Waskita Karya (WSKT), memulai pembangunan.
Kedua, warga sekitaran proyek terkaget kaget dengan proyek bangunan 18 lantai ini karena merasa tidak pernah dilibatkan dalam proses audiensi. Atas dasar itu, warga mencari tahu dan memverifikasi proses perizinannya.
Ketiga, dari proses verifikasi itu, warga menemukan bahwa PBG ternyata tidak disertai dokumen Amdal. Dikemudian hari terbukti bahwa izin Amdal terbit belakangan setelah proyek berjalan. Itupun tidak bisa dipertanggungjawabkan karena salah satu persyaratan utama izin Amdal, yakni persetujuan dari warga, tidak dilakukan secara benar.
Keempat, warga menggugat izin PBG yang diterbitkan Pemprov DKI ke PTUN. Majelis hakim PTUN kemudian memutuskan memenangkan gugatan warga dan meminta Pemprov DKI untuk menghentikan pembangunan.
Kelima, Pemprov melakukan banding atas putusan PTUN. (dra)