Suara Karya

Serikat Pekerja PLN Sebut Dirjen di Kementerian ESDM Tak Paham Makna Liberalisasi

JAKARTA (Suara Karya): Ketua Umum DPP SP PT PLN (Persero) Abrar Ali menentang pernyataan Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Eniya Listiani Dewi, yang menyatakan bahwa skema sewa jaringan listrik atau pemanfaatan bersama jaringan transmisi (PBJT) dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) bukan merupakan bentuk dari pasar bebas (liberalisasi) industri listrik nasional.

“Pernyataan seperti itu sangat memprihatinkan dan keluar dari mulut pejabat negara. Ini sudah mencederai demokrasi,” kata Abrar melalui keterangan tertulis hang diterima, Kamis (12/9/2024).

Abrar menyatakan bahwa Ini akibat ketidakpahaman arti liberalisasi dalam aspek hukum, konstitusi dan bisnis dari seorang dirjen. “Harusnya beliau (Eniya Listiani Dewi) memahami dulu dengan baik dan benar apa yang disebut dengan liberalisasi, baik secara hukum, konstitusi maupun bisnis, baru selanjutnya mengeluarkan pernyataannya. Bukan hanya berdasar pada kepentingan semata. Kita tetap menolak skema tersebut karena cacat secara hukum, konstitusi dan tidak berpihak pada ekonomi kerakyatan,” kata Abrar.

Alasannya, ungkap Abrar, pertama, skema PBJT itu sangat bertentangan dengan konstitusi, Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan sektor strategis menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara. Dalam hal ini diwakili BUMN sebagai pengelola. Jika skema tersebut diterapkan, otomatis penguasaan negara tidak terpenuhi karena sebagian beralih kepada swasta. Kedua, Putusan MK No. 36/2012 yang menyebut pengelola hajat hidup rakyat tersebut adalah BUMN/PLN, bukan swasta.

Ketiga, Putusan MK No. Putusan 001-021-022/PUU-I/2003, menyatakan bahwa kebijakan pemisahan usaha penyediaan tenaga listrik dengan sistem unbundling (dalam UU No.20/2002) mereduksi makna dikuasai negara yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945. Sehingga, sistem unbundling yang berisi skema tersebut juga inkonstusional, dan harus ditolak.

Keempat, Putusan MK No.111/PUU-XIII/2015 menyatakan usaha ketenagalistrikan yang dilakukan secara kompetitif dan unbundling bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Dijelaskan, listrik sebagai public utilities tidak bisa diserahkan ke mekanisme pasar bebas, karena para pihak mengambil keputusan berdasar pasokan dan permintaan.

Hal yang sama juga bila ditinjau dari sisi aspek ekonomi dan sosial politik, skema tersebut sangat merugikan masyarakat. “Pada Putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003, menjelaskan dalam mekanisme pasar bebas yang diuntungkan adalah pemilik modal dan yang terjadi adalah kerugian sosial pada masyarakat. Hal ini dapat berarti negara tidak lagi memberikan proteksi kepada mayoritas rakyat yang hidup kekurangan secara ekonomi. Jelas skema tersebut sangat tidak pancasilais. Kalaupun ada pernyataan tambahan dari beliau (Eniya Listiani Dewi) menyebut PLN masih melakukan penguasaan lewat persetujuan harga sewa jaringan, dan bukan pasar bebas, menurut hemat kami, itu akal-akalan pemerintah saja, yang kita sebut sebagai liberalisasi terselubung ala pemerintah,” kata Abrar.

Abrar mengungkapkan, penerapan skema tersebut (pemanfaatan bersama jaringan transmisi/PBJT) jangan terlalu dipaksakan, karena akan sangat merugikan negara dan masyarakat kita sendiri. Kajian-kajian akan besarnya kerugian bagi pemerintah dan masyarakat atas dampak PBJT tersebut sudah banyak dilakukan. Namun pemerintah tidak pernah menggubrisnya. (Boy)

 

 

 

Related posts