JAKARTA (Suara Karya): Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo menyatakan sistem politik multi partai dan pemilihan kepala daerah secara langsung memicu suburnya budaya korupsi di Indonesia.
Alasannya kata Pontjo, partai politik mempunyai peran sentral bagi siapapun yang ingin maju sebagai kepala daerah. Karenanya, pemilihan umum secara langsung dan kewenangan partai sebagai pintu masuk warga negara yang ingin duduk dalam pemerintahan baik eksekutif maupun legislatif.
“Dengan sistem politik tersebut posisi tawar (bargaining position) partai politik menjadi sangat tinggi. Siapapun yang ingin menduduki jabatan kepala daerah, bahkan juga beberapa jabatan penting lainnya harus melakukan tawar menawar dengan partai politik,” kata Pontjo pada acara FGD Tata Nilai bertema Urgensi Berantas Korupsi: Problematika dan Solusi, yang digelar Jumat (23/8/2024).
Dikatakan Pontjo, jabatan kepala pemerintahan baik pusat maupun daerah di negara yang memiliki sumber daya ekonomi berlimpah seperti Indonesia, merupakan daya magnit yang sangat kuat untuk diperebutkan. Sementara itu, kekuatan partai terletak pada besarnya konstituen (rakyat) yang dapat dirangkulnya.
Pontjo menyatakan, jiwa dagang para politisi ambisius pada akhirnya mendorong mereka berani melakukan tindakan spekulatif, dengan menawarkan biaya mahar tinggi kepada partai agar dirinya dapat diusung memasuki ajang pemilu. Lantas dari mana uang mahar yang begitu tinggi dapat ia peroleh?
“Tentu saja dari pengusaha yang berharap akan mendapat konsesi eksploitasi sumber daya alam, jika calon yang disponsorinya berhasil memenangkan pemilu. Selanjutnya ketika politisi ambisius tadi berhasil memenangkan pemilu, maka tiba saatnya, ia harus mengembalikan biaya sponsorship kepada para pengusaha tadi,” kata Pontjo.
Rangkaian pemilihan kepala daerah yang demikian pada akhirnya membentuk apa yang disebut sebagai Siklus Transaksional Triple Helix Politik, Pemerintahan (Eksekutif dan legislatif) – Partai Politik dan Pengusaha.
Diakui Pontjo, perilaku korupsi dewasa ini sudah semakin kompleks, tidak sekadar korupsi untuk menumpuk kekayaan saja, tetapi juga sudah berubah menjadi korupsi politik (kekuasaan), membentuk budaya baru yang oleh Dahlan Iskan disebut sebagai Budaya Post-Truth. Hukum sudah tidak mampu memecahkan persoalan dan mengatasi problem korupsi ini.
“Mungkin kita harus mengembangkan “Post Parliamentary Demokrasi” melalui media sosial, atau apa yang saya sebut sebagai “Digital Democracy” yang mengandalkan jargon “No Viral No Justice”, yang dewasa ini merupakan sarana ekspresi kedaulatan rakyat,” kata Pontjo.
Pontjo menyebut perilaku korupsi dapat terjadi tidak hanya karena motivasi seseorang yang pada dasarnya memiliki corrupted mindset, akan tetapi dapat juga terjadi karena adanya kesempatan, atau karena kelemahan sistem tata kelola yang berakibat tidak efektifnya sistem pengawasan yang seharusnya berlaku. (Boy)