JAKARTA (Suara Karya): Program sekolah rujukan yang dikembangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) seharusnya dihapus saja. Karena tak selaras dengan sistem zonasi yang saat ini tengah digulirkan.
“Inti dari sistem zonasi adalah pemerataan kualitas pendidikan. Sementara program sekolah rujukan menciptakan kastanisasi dalam di pendidikan,” kata pengamat pendidikan dari Eduspec, Indra Charismiadji di Jakarta, Jumat (13/7).
Indra menjelaskan, kastanisasi bisa terjadi karena bantuan sarana dan prasarana pendidikan dari pemerintah pusat selalu ke sekolah rujukan. Padahal sistem zoonasi sangat mengedepankan pemerataan kualitas pendidikan.
“Sekolah rujukan itu umumnya berasal dari bekas sekolah berstatus rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI). Masak sekolah yang sudah bagus dapat bantuan terus,” ujarnya.
Indra mengusulkan, program sekolah rujukan diganti dengan hibah kompetisi agar sistem zonasi terlaksana secara optimal. Karena dalam sistem zonasi semua murid tersebar ke semua sekolah. Sehingga bantuan tidak tepat hanya diberikan kepada sekolah rujukan saja,” katanya.
Indra mendukung diterapkannya sistem zonasi dalam proses penerimaan peserta didik baru (PPDB). Jika diterapkan dengan benar, sistem zonasi dapat menaikkan angka partisipasi murni (APM) dalam pendidikan.
“Bukan rahasia lagi, APM pendidikan dasar dan menengah kita belum 100 persen meski sudah ditopang dengan pemberian Kartu Indonesia Pintar (KIP). Padahal KIP itu dibuat agar anak miskin bisa masuk sekolah,” tuturnya.
APM adalah perbandingan antara siswa usia sekolah pada jenjang pendidikan dengan penduduk usia yang sesuai, dan dinyatakan dalam persentase. Makin tinggi APM maka makin banyak anak usia sekolah yang bersekolah di jenjang pendidikan tertentu.
“Nilai ideal dari APM adalah 100 persen. Data Kemendikbud menunjukkan APM SD baru 80,93 persen, APM SMP 57,68 persen dan APM SMA 52,59 persen. Kenaikan APM hanya nol koma sekian? meski sudah ditopang dengan KIP,” ucapnya.
Indra mengungkapkan, APM tidak naik secara signifikan karena sekolah negeri yang seharusnya dimasuki anak miskin, nyatanya dinikmati anak orang kaya. Itu karena sekolah negeri, hanya mensyaratkan masuk sekolah dengan nilai UN.
“Tentu saja anak miskin kalah, karena hanya anak orang kaya yang punya akses ke bimbel, kursus, internet dan gizi yang baik,” ujarnya
Karena itu, lanjut Indra, APM bisa naik karena sistem zonasi mewajibkan pada sekolah untuk menerima siswa miskin dari lingkungan terdekatnya dalam kuota tertentu. Upaya afirmatif semacam itu diperlukan hingga anak dari keluarga miskin bisa sekolah tanpa mengeluarkan biaya transportasi. (Tri Wahyuni)