Suara Karya

Banyak Manfaat, FK Presuniv Dukung Pengembangan Genom di Tanah Air

JAKARTA (Suara Karya): Meski masih berusia muda, Fakultas Kedokteran President University (FK Presuniv) memiliki mimpi yang besar dalam pengembangan genomik di Indonesia. Mimpi itu bahkan telah masuk dalam rencana pembangunan riset and teaching hospital di Cikarang.

“Sebagai research university, kami menilai Indonesia perlu memiliki profil genom. Selain kepentingan riset, data itu bisa dimanfaatkan untuk pengobatan yang lebih presisi,” kata Dekan FK Presuniv, Prof Dr dr Budi Setiabudiawan, SpA(K) di Jakarta, Senin (12/2/24).

Pernyataan itu disampaikan Prof Budi dalam seminar bertajuk ‘Menuju Precision Medicine Melalui Pemetaan Genom: Pro dan Kontra di Masyarakat’ yang menghadirkan dua pembicara, yaitu Guru Besar Mikrobiologi Klinik dari FKUI, Prof dr Amin Soebandrio W. Kusumo, PhD dan
Ketua Umum Asosiasi Genomik Indonesia, Dr dr Ivan Rizal Sini, FRANZCOG, GDRM, MMIS, SpOG.

Hadir dalam kesempatan yang sama, Pendiri President University yang juga Chairman Jababeka, Dr SD Darmono dan Menteri Kesehatan Periode 2010-2014, Dr dr Siti Fadhilah Supari SpJP.

Prof Budi Setyabudiawan menjelaskan, profil genetik diperlukan karena selama ini dokter dan praktisi kesehatan memberi terapi dan obat-obatan yang sama untuk setiap orang dengan gejala penyakit yang sama. Padahal, terapi dan obat-obatan itu belum tentu memberi efek yang sama bagi setiap orang.

“Setiap orang memiliki kode genetik yang berbeda-beda. Kode genetik baru bisa diketahui lewat pemeriksaan genomik. Negara maju sudah lama memiliki data genomik, tapi Indonesia baru akan mengembangkan secara luas tahun ini,” ujarnya.

Seperti diberitakan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melalui Program Biomedical & Genome Science Initiative (BGSi) akan melakukan pemetaan genomik untuk mengetahui profil genom atau informasi genetik dari setiap orang.

Program BGSi ini, menurut Prof Budi, membuka babak baru dan sekaligus menjadi lompatan penting dalam dunia kesehatan Indonesia dan dunia. Banyak manfaat yang bisa dipetik jika Indonesia berhasil mengembangkan BGSi.

“Para dokter dan praktisi kesehatan nantinya bisa mendeteksi gejala penyakit, lalu memberi terapi dan pengobatan lebih akurat. Sehingga terjadi penghematan biaya kesehatan, karena tidak perlu lagi keluar biaya untuk terapi atau obat-obatan yang tidak diperlukan,” ucapnya.

Hal senada dikemukakan Prof Dr Amin Soebandrio. Katanya, lewat informasi genetik, para dokter bisa mengidentifikasi apakah ada gen-gen atau terjadinya mutasi gen yang dapat meningkatkan risiko atas penyakit tertentu.

“Dengan informasi genetik yang jelas, maka terapi dan pengobatan yang diberikan menjadi lebih presisi. Pada penderita kanker, pendekatan itu akan meningkatkan efektivitas obat dan mengurangi dampak sampingnya. Hasilnya tentu akan lebih baik bagi pasien,” ujarnya.

Menurut Prof Amin, informasi genetik akan merevolusi terapi dan pengobatan kanker. Terapi dan pengobatan menjadi sangat penting karena, menurut WHO, kanker masih menempati urutan pertama pembunuh manusia di dunia.

Disebutkan, tiga kanker paling mematikan menurut WHO yaitu kanker paru-paru (1,8 juta kematian atau 18,7 persen dari total kematian akibat kanker), kanker kolokteral (900.000 atau 9,3 persen), dan kanker hati (760.000 atau 7,8 persen)

“Untuk mendapat terapi dan pengobatan yang lebih presisi, bisa dilakukan penilaian risiko yang bersifat personal, upaya deteksi dan pencegahan dini, rencana pengobatan yang sesuai susunan genetik individu, mengurangi efek samping pengobatan, meningkatkan khasiat pengobatan, tindak lanjut perawatan yang sesuai kebutuhan.
Semua itu berdampak pada peningkatan hasil pengobatan dan kualitas hidup pasien,” ucapnya.

Sementara itu, Dr Ivan Rizal Sini memaparkan potensi industri genomik yang saat ini masih lambat. Selama 2022 hingga 2023, mengutip data National Human Genom Research Institute (NHGRI), pasar genomik naik dari 44,6 miliar dollar Amerika menjadi 46,2 miliar dollar atau hanya tumbuh 3,6 persen.

Meski begitu, lanjut pendiri Klinik Bayi Tabung Morula IVF, pada 2028 pasar genomik diperkirakan akan melesat menjadi 83,1 miliar dollar Amerika atau tumbuh rata-rata 12,4 persen per tahun.

Selain membahas soal industri genomik, Ivan juga memaparkan beberapa isu tentang pentingnya informasi genetik. Misalkan, Polygenic Risk Scoring (PRS) agar masyarakat dapat mengetahui risiko terkena penyakit tertentu, atau beberapa penyakit sekaligus, berdasarkan akumulasi perubahan yang terkait dengan gaya hidup.

Perubahan itu tak hanya terjadi pada satu atau beberapa gen, tetapi juga perubahan yang dipengaruhi faktor eksternal. “Saya juga buat aplikasi yang dapat memberitahu potensi penyakit degeneratif seperti hipertensi, diabetes, jantung atau stroke yang diidap seseorang lewat data-data yang dimasukkan,” katanya.

Ivan juga membahas pentingnya uji genetik untuk menanggulangi penyakit-penyakit pranatal dan kesehatan reproduksi, termasuk peluangnya untuk membuat usia menjadi semakin panjang.

Pada bagian akhir, dr Ivan mengajak FK Presuniv untuk berkolaborasi mengembangkan pemetaan genomik. Alasannya, pemerintah hanya sanggup melakukan pendataan genomik pada 10 ribu orang. “Kita buat dalam jumlah yang sama. Sehingga makin banyak profil genetik di Indonesia,” ucapnya.

Terkait hal itu, Pendiri Presuniv, SD Darmono menyatakan siap berkolaborasi. Karena alatnya terbilang mahal, pemetaan genomik, sementara bisa dilakukan untuk mereka yang mampu secara ekonomi.

“Jika ada orang yang mau bayar untuk pemeriksaan genomik ini di Indonesia kenapa tidak kita buat. Profil genetik tidak untuk umur panjang, tapi untuk pemeliharaan kesehatan di masa tua,” tuturnya.

Pengembangan genomik ini, menurut SD Darmono, penting untuk membantu meningkatkan kesehatan manusia Indonesia. Karena profil genetiknya bisa digunakan untuk terapi agar tetap sehat di hari tua. (Tri Wahyuni)

Related posts