JAKARTA (Suara Karya): Dunia saat ini sedang menghadapi berbagai tantangan multidimensi yang kompleks, mulai dari disrupsi teknologi, tantangan ekonomi, dinamika politik dan hukum, perkembangan life science, hingga krisis dalam pendidikan dan nilai-nilai kemanusiaan.
Di tengah pusaran tantangan itu, BINUS University menegaskan kembali perannya sebagai institusi pendidikan tinggi, yang tak hanya menghasilkan lulusan unggul, tetapi juga untuk menawarkan solusi berbasis ilmu pengetahuan.
“Kami siap memberi kontribusi nyata ke masyarakat melalui pemikiran strategis lintas disiplin ilmu,” kata Ketua Dewan Guru Besar (DGB) BINUS University, Prof Dr Ir Harjanto Prabowo, MM kepada media disela perayaan Dies Natalis ke-44 BINUS University, di Jakarta, Selasa (1/7/25).
Prof Harjanto menyebut BINUS University saat ini memiliki 45 guru besar aktif. Namun, pemaparan masalah dan solusinya kepada media diwakilkan oleh 6 guru besar, yaitu Prof Dr Ir Derwin Suhartono, SKom, MTI; Prof Yanthi Rumbina Lanova Hutagaol, SP, MAcc, PhD; Prof Dr Shidarta SH, MHum; Prof Dr Nesti F Sianipar, SP, MSi; Prof Dr Ir Sasmoko, MPd, MA, CIRR, IPU, ASEAN Eng, SMIEEE; dan Prof Gatot Soepriyanto, SE, Ak, MBuss (Acc), PhD, CA, CFE.
Ketua DGB BINUS University, Prof Harjanto Prabowo kembali menegaskan komitmen BINUS University dalam berperan aktif terhadap kemajuan Indonesia.
“Dewan Guru Besar adalah kekuatan intelektual BINUS yang hadir tidak hanya untuk dunia akademik, tapi juga sebagai suara moral dan ilmiah untuk menjawab persoalan di masyarakat dan bangsa,” ujarnya.
Sebagai bagian dari visi BINUS 2035 ‘A World-class University, Fostering and Empowering the Society in Building and Serving the Nation’, Prof Harjanto menambahkan, Dewan Guru Besar BINUS University siap mendampingi masyarakat dalam proses perubahan yang berkelanjutan.
“Forum ini tak hanya menjadi ajang akademik, tetapi momen refleksi dan kontribusi nyata dari Dewan Guru Besar BINUS University atas kondisi Indonesia dan dunia,” ucapnya.
Sementara itu, Prof Gatot Soepriyanto dalam orasinya memaparkan sisi kelam dari pertumbuhan pesat ekosistem startup teknologi finansial (fintech) di Indonesia.
“Kegagalan startup tak semata persoalan teknologi atau sistem, melainkan cerminan dari lemahnya kepemimpinan dan tata nilai organisasi,” ucapnya.
Ia menyoroti penyalahgunaan dana, manipulasi laporan keuangan, dan penciptaan pinjaman fiktif terjadi karena rendahnya akuntanbilitas pimpinan. Kepemimpinan yang mengabaikan integritas mendorong seluruh organisasi terjerumus pada praktik yang menyimpang.
Situasi itu, lanjut Prof Gatot, semakin diperburuk oleh minimnya fungsi pengawasan independen dan keterlambatan intervensi dari regulator.
“Kegagalan startup bukan takdir, tetapi akibat dari kepemimpinan yang tidak membangun fondasi etis, dan sistem pengawasan yang kokoh,” ujarnya.
Untuk itu, Prof Gatot berpendapat, perlunya kolaborasi lintas sektor. Selain adanya audit forensik berkala oleh regulator (OJK), kewajiban pembentukan dewan pengawas independen sejak pendanaan seri A, serta penguatan kurikulum tata kelola dan etika startup di perguruan tinggi.
Prof Derwin Suhartono dalam kesempatan yang sama membahas perkembangan teknologi informasi yang menjadi fondasi dari banyak tantangan hari ini. Ia menekankan pentingnya kebijakan nasional yang adaptif dan agile, agar mampu mengimbangi kecepatan inovasi teknologi digital yang kian disruptif.
“Kemajuan teknologi seharusnya tidak hanya mengejar kecepatan, tetapi juga diarahkan oleh kebijaksanaan dan nilai-nilai luhur,” ujarnya.
Para guru besar sepakat tantangan terbesar saat ini bukan hanya mengadopsi teknologi, tetapi bagaimana memastikan arah penggunaannya sesuai dengan konteks sosial, budaya, dan kebutuhan nasional.
Hal senada disampaikan Prof Yanthi Rumbina Lanova Hutagaol. Ia menggarisbawahi pentingnya etika digitalisasi di sektor ekonomi, khususnya UMKM.
“Transformasi digital yang sukses, bukan hanya soal teknologi, tetapi juga keberanian untuk menjaga integritas, transparansi, dan nilai-nilai keadilan sosial dalam praktik bisnis sehari-hari,” katanya.
Ditambahkan, UMKM sebagai tulang punggung ekonomi Indonesia memiliki potensi besar untuk naik kelas jika didukung ekosistem digital yang sehat. Namun, kualitas manajemen, kesiapan digital, dan rendahnya literasi keuangan masih menjadi tantangan utama.
Prof Shidarta menyoroti kondisi dinamika politik dan hukum di Indonesia. Menurutnya, penegakan hukum dan stabilitas politik tidak cukup hanya dengan pendekatan normatif, tetapi juga perlu integritas, pendidikan etika hukum, dan peran serta publik dalam pengawasan.
Ia juga mencermati persaingan teknologi digital yang intens dalam geopolitik dunia dan regional Asia, terutama antara Amerika dan Tiongkok. Untuk itu, Indonesia harus cerdik memanfaatkan peluang relokasi pabrik dari Tiongkok ke Indonesia dan menarik investor asing.
Meski begitu, menurut Prof Shidarta, investasi asing yang masuk Indonesia harus diatur agar tidak melanggar kedaulatan data, perlindungan data pribadi hingga keamanan nasional.
“Indonesia perlu aktif mendorong kerja sama keamanan siber seperti terangkum dalam adopsi ASEAN Digital Masterplan 2025 dan pembahasan Digital Economy Framework Agreement (DEFA) di ASEAN,” ujarnya.
Prof Nesti F Sianipar membahas soal ketahanan pangan dan kesehatan masyarakat sebagai tantangan lintas generasi. Ia menyampaikan berbagai inovasi yang dilahirkan untuk kesehatan dan kesejahteraan.
Inovasi itu berupa ekstrak keladi tikus unggul untuk pengobatan pasien kanker payudara. Produk dalam bentuk kapsul tersebut kini masuk tahap pengajuan izin ke Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).
Inovasi lainnya adalah bibit pisang tanduk berukuran besar yang diberi nama Pisang Torpedo. Pisang tersebut telah didaftarkan untuk mendapat Hak Perlindungan Varietas Tanaman di Kementerian Pertanian.
“Inovasi ini diharapkan mampu mengatasi menurunnya produktivitas pisang tanduk lokal, serta mendukung tujuan SDG nomor 2 yaitu mengakhiri kelaparan dan mendorong pertanian berkelanjutan.
Prof Sasmoko pada bagian akhir acara menyampaikan pentingnya revolusi pendidikan yang didukung kecerdasan buatan. AI bukan pengganti pendidik, melainkan partner strategis untuk menciptakan pengalaman belajar personal, relevan, dan berorientasi pada pembentukan karakter generasi emas 2045.
Saat ini ketimpangan mutu pendidikan antarwilayah masih nyata, beban administratif guru belum berkurang, dan kurikulum sering tertinggal dari perubahan zaman. Kecerdasan buatan (AI), yang telah mengubah wajah industri global belum terintegrasi secara bermakna dalam ruang kelas.
“Padahal, ini adalah momentum emas untuk lompatan sejarah. Bukan sekadar perbaikan, melainkan revolusi pendidikan berbasis AI,” kata Prof Sasmoko menandaskan. (Tri Wahyuni)