JAKARTA (Suara Karya): Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI), Unifah Rosyidi menyampaikan pandangan kritis atas 6 kebijakan dan wacana pendidikan nasional terkini.
Hal itu disampaikan Unifah dalam acara Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) PB PGRI, di Jakarta, pada Kamis (26/6/25) malam.
Acara yang berlangsung hingga Sabtu (28/6/25) itu dibuka oleh Sekretaris Jendral Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemdikdasmen), Suharti.
Menurut Unifah, kebijakan pendidikan tidak boleh semata-mata elitis dalam narasi, tetapi harus kontekstual dalam praktik. Suara guru dan sekolah dari pelosok negeri harus menjadi sumber inspirasi kebijakan, bukan sekadar objek implementasi.
Karena itu, PB PGRI menyerukan agar kebijakan pendidikan tidak hanya dibentuk di atas meja birokrasi, tetapi juga diuji melalui realitas di ruang kelas, daerah terpencil, dan lingkungan sekolah yang sesungguhnya.
“Kami percaya bahwa kemajuan pendidikan harus dibangun di atas pijakan realitas di lapangan, bukan sekadar idealisme administratif,” ucapnya.
Enam kebijakan dan wacana pendidikan nasional yang dikritisi, yaitu terkait penjurusan di SMA.
PGRI mendukung kebijakan tersebut. Fleksibilitas pembelajaran di SMA harus tetap memperhatikan kesiapan siswa, kapasitas guru, serta ketersediaan sumber daya sekolah.
PGRI mendorong model diferensiasi pembelajaran yang terstruktur dan terarah, agar siswa tetap mendapat pendampingan dalam memilih mata pelajaran yang sesuai dengan minat, bakat, dan rencana masa depannya.
PGRI juga mencermati kebijakan penghapusan penjurusan di SMA sebagai bentuk semangat pembelajaran yang fleksibel dan multidisipliner. Namun, kebijakan itu masih belum didukung oleh kesiapan infrastruktur, kurikulum, serta kapasitas guru yang memadai.
“Menghapus penjurusan tanpa memberi panduan pedagogis yang jelas justru akan membingungkan siswa, membebani guru, dan membuat sekolah kewalahan dalam menyusun jadwal serta distribusi pengajaran,” tuturnya.
PGRI mendukung kembalinya penjurusan di SMA. Siswa dapat memilih jurusan melalui asesmen minat dan bakat yang kredibel, didampingi guru bimbingan konseling, dengan tetap menjaga struktur pembelajaran yang logis dan terarah.
Kedua, Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB). PGRI memandang, perubahan sistem SPMB harus tetap menjunjung tinggi prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas.
“Pentingnya meminimalkan disparitas akses antardaerah, serta memastikan sistem seleksi tidak hanya mengandalkan satu pendekatan kognitif, tetapi juga mempertimbangkan potensi, minat, dan kemampuan belajar siswa secara holistik,” kata Unifah.
Keadilan dan transparansi dalam penerimaan siswa baru masih menjadi titik rawan dalam sistem pendidikan kita, terutama dengan sistem domisili dan jalur prestasi yang belum seragam pelaksanaannya di daerah.
PGRI mendorong reformasi sistem penerimaan murid baru yang berbasis pemerataan mutu sekolah, bukan semata redistribusi siswa. Pemerintah harus fokus memperkuat sekolah-sekolah di zona nonfavorit melalui peningkatan SDM, sarana, dan dukungan komunitas.
Afirmasi kebijakan terhadap sekolah swasta harus diintegrasikan dalam desain sistem penerimaan siswa baru, bukan sekadar diletakkan di pinggiran sebagai pelengkap.
Sistem SPMB juga harus memperhitungkan realitas, karena ada lebih dari 50 persen lulusan juga mengandalkan sekolah swasta sebagai pilihan.
“Sekolah swasta yang berkualitas juga berhak mendapatkan akses informasi, regulasi yang adil, dan dukungan yang setara,” tegasnya.
Ketiga, Pembelajaran Mendalam (Deep Learning). PGRI mendukung pendekatan pembelajaran mendalam yang menekankan pada pemahaman konsep, berpikir kritis, dan pemecahan masalah.
Namun, implementasi kebijakan itu harus dibarengi dengan peningkatan kapasitas guru, penyediaan kurikulum yang adaptif, serta waktu belajar yang memadai. Kualitas dan kesejahteraan guru adalah kunci keberhasilan dalam implementasi kebijakan pendidikan.
“Pembelajaran mendalam bukan semata tuntutan akademik, tetapi proses membentuk karakter dan kecakapan abad ke-21. Kami menyambut baik orientasi pembelajaran yang lebih bermakna, berbasis pemahaman, dan kontekstual,” ujarnya.
Namun, filosofi deep learning belum diterjemahkan secara sistemik ke dalam RPP, asesmen, dan pelatihan guru. Pembelajaran mendalam sering berhenti di jargon, sementara di ruang kelas guru tetap terjebak pada target administratif dan konten yang tumpang tindih.
PGRI mendesak adanya pelatihan terstruktur berbasis praktik baik (best practices) dalam implementasi pembelajaran mendalam, disertai kurikulum yang lebih ramping, fokus, dan kontekstual.
“Keberhasilan pembelajaran mendalam juga bergantung pada iklim sekolah yang kondusif, kepemimpinan pembelajaran yang visioner, serta dukungan manajemen berbasis mutu,” ungkapnya.
Karena itu, pemerintah dan pemangku kepentingan pendidikan perlu mendorong terbentuknya learning ecosystem yang mendorong refleksi, kolaborasi, dan inovasi guru.
“Pembelajaran mendalam tidak akan tumbuh subur dalam sistem yang kaku, birokratis, dan terlalu menitikberatkan pada administratif,” pungkasnya.
Keempat, Pembelajaran Koding dan Kecerdasan Buatan (AI). PGRI menyambut baik integrasi koding dan AI dalam kurikulum sebagai bentuk respons atas perkembangan teknologi.
Namun, penguatan literasi digital harus disertai pelatihan berkelanjutan bagi guru, pengembangan infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di sekolah, serta penyusunan materi ajar yang relevan dengan konteks lokal.
“Transformasi digital sebaiknya tidak menghasilkan kesenjangan baru antarwilayah dan satuan pendidikan. Pembelajaran teknologi akan berhasil dengan dukungan sumberdaya manusia yang baik, dan jaringan infrastruktur TIK yang merata di seluruh tanah air,” katanya.
PGRI menekankan, integrasi koding dan AI tidak dapat dilakukan secara instan atau bersifat seremonial. Kurikulum digital harus dibangun berdasarkan filosofi pedagogik yang kuat, tak hanya berdasarkan tren global.
Karena itu, perlu disusun kerangka kerja nasional penguatan kompetensi digital berbasis jenjang dan jenis mata pelajaran, disertai digital roadmap untuk sekolah, guru, dan peserta didik.
PGRI siap menjadi mitra dalam menyusun model pelatihan guru coding dan AI yang berbasis praktik, lintas mata pelajaran, dan kontekstual dengan kehidupan siswa.
Kelima, Tes Kompetensi Akademik.
PGRI berpandangan, tes kompetensi akademik bagi peserta didik maupun pendidik harus bersifat formatif, mendidik, dan membangun semangat belajar.
Evaluasi kompetensi perlu dirancang untuk mendorong peningkatan mutu pembelajaran, bukan sekadar alat seleksi semata. Untuk itu, perlu penyelarasan antara tujuan asesmen, metode pelaksanaan, dan hasil yang berdampak pada penguatan proses pendidikan di sekolah.
PGRI menegaskan komitmennya sebagai mitra strategis pemerintah dalam memajukan dunia pendidikan. “Kami mendesak agar setiap kebijakan pendidikan dirumuskan melalui dialog yang inklusif dengan melibatkan para pendidik di lapangan, termasuk organisasi guru PGRI,” ucap Unifah.
Ditambahkan, hanya kolaborasi yang kokoh antara pemerintah, guru, dan masyarakat, maka sistem pendidikan Indonesia dapat bergerak maju, dan berdaya saing global.
PGRI siap berdiri di garis depan perjuangan pendidikan yang berkeadilan, humanis, dan berorientasi masa depan. Bersama guru, kita bangun Indonesia Emas yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga unggul dalam karakter, nilai, dan kemanusiaan.
Keenam, Pendidikan Dasar Gratis.
Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan pendidikan dasar 9 tahun atau SD dan SMP negeri dan swasta gratis pada 27 Mei 2025.
Keputusan itu diambil dari frasa ‘Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya’ dalam pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Tahun 2003.
Dalam Pasal 31 ayat (2) UUD 1945, mewajibkan negara membiayai pendidikan dasar ‘tanpa batasan mengenai jenis sekolahnya’. Beberapa Pemda telah menggratiskan pendidikan swasta, seperti Kota Semarang, Bantul, Tangerang Selatan, dan Badung. Di level SMA, ada Jawa Tengah, Banten, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Jawa Barat.
Pemerintah diharapkan membantu peningkatan kualitas sekolah swasta, mulai dari guru, fasilitas, hingga operasionalnya.
“Pendidikan berkualitas bisa diraih dengan menjadikannya sebagai prioritas pembangunan. Bidang-bidang tertentu bisa dilakukan efisiensi, namun tidak bidang pendidikan,” tegas Unifah.
Diharapkan DPR, DPD, dan DPRD serta civil society bisa mengawal implementasi pendidikan dasar gratis ini. Masalahnya, suara mereka terdengar lantang saat berhadapan dengan pemerintah dan Pemda di Senayan, namun kadang tidak efektif.
Pemerintah dan Pemda bergeming. Akses anak terhadap pendidikan dasar masih menghadapi aneka kendala. (Tri Wahyuni)