JAKARTA (Suara Karya): Radikalisme di lingkungan sekolah sebenarnya dapat dicegah melalui penguatan pendidikan karakter (PPK). Ada lima nilai utama dalam PPK, yaitu religius, nasionalis, gotong royong, mandiri dan integritas.
“Kami minta sekolah segera menerapkan PPK, karena seluruh aspek bisa ditangani dengan baik termasuk manajemen sekolah,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy dalam sarasehan nasional PPK di Jakarta, Kamis (31/5).
Muhadjir menyebutkan, sudah ada sekitar 65 persen sekolah yang menerapkan program PPK. Program tersebut belum mencapai target 100 persen, karena keterbatasan dana, tenaga dan ahlinya.
“Program PPK belum terlaksanakan secara optimal karena keterbatasan dana, tenaga pengajar maupun tenaga ahlinya. Untuk itu, kami minta pada sekolah untuk ikut berjibaku dalam penerapan PPK,” katanya.
Mendikbud menambahkan, pihaknya akan melakukan langkah terukur dan sistemik untuk menyelesaikan masalah karakter siswa. Karena pendidikan karakter bukanlah proses menghafal materi soal ujian, tetapi memerlukan pembiasaan.
“Pembiasaan ini perlu contoh. Kami harap guru bisa mulai dengan tindakan berbuat baik, berlaku jujur, kesatria, malu berbuat curang, malu berbuat malas, dan lainnya. Program ini seharusnya dapat dukungan dari keluarga, jangan hanya sekolah,” tuturnya.
Ditambahkan, penerapan PPK di sekolah untuk jenjang SD, sebanyak 70 persen untuk pendidikan karakter dan 30 persen akademis. Kemudian, jenjang pendidikan SMP, proporsi pendidikan karakter sebesar 60 persen dan 40 persen untuk akademis.
“Selama ini di sekolah lebih banyak mengedepankan aspek logis ketimbang karakter. Untuk itu kita arus-utamakan kembali estetika, etika dan kinestetik melalui PPK,” ujarnya.
Sementara Kasubdit Peserta Didik Direktorat Pembinaan SMA, Suharlan, mengatakan PPK sangat penting dilaksanakan di semua sekolah melalui internalisasi nilai-nilai ada.
“Sarasehan ini diadakan untuk merancang langkah strategis dalam menangkal paham radikal di sekolah. Salah satunya, siswa diajarkan untuk saling memahami perbedaan sesama anak bangsa. Sehingga mereka hidup berdampingan secara damai,” kata Suharlan.
Sarasehan itu diikuti sejumlah pemangku kepentingan dari beberapa wilayah di Indonesia seperti Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat dan DKI Jakarta. (Tri Wahyuni)