Peneliti RISE: Indonesia Gawat Darurat Matematika

0

JAKARTA (Suara Karya): Hasil penelitian Research on Improvement of System Education (RISE) 2018 menunjukkan Indonesia saat ini masuk kondisi gawat darurat matematika. Hal itu terlihat dari ketidakmampuan siswa dalam memecahkan soal matematika dasar.

“Pertanyaannya adalah berapa hasil dari 1/3 dikurangi 1/6. Anak usia 8 tahun yang bisa menjawab ada 2,9 persen, usia 18 tahun sebesar 8,9 persen dan usia 28 tahun hanya 6,8 persen,” kata peneliti RISE, Niken Rarasati dalam acara Deklarasi Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Matematika (Gernas Tastaka) di kampus UI Depok, Sabtu (10/11/2018).

Kondisi itu, lanjut Niken, menunjukkan kemampuan matematika seseorang yang tak berkembang meski ada penambahan tingkat di sekolah. Hal itu terjadi dari tahun ke tahun.

“Hal ini tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Karena kemampuan dalam matematika dasar itu terkait dengan daya pikir dan nalar seseorang untuk menyelesaikan masalah sehari-hari. Indonesia saat ini dalam kondisi gawat darurat matematika,” ujarnya.

Niken menambahkan, rendahnya kemampuan numerasi siswa Indonesia bukan hal baru. Hasil PISA tahun 2000 hingga 2015, secara konsisten menempatkan siswa Indonesia usia 15 tahun pada peringkat bawah dibanding negara-negara anggota OECD lainnya.

“Gawat darurat matematika juga terlihat pada studi yang dilakukan Kemdikbud melalui program INAP (Indonesia National Assesment Program). Program itu kini menjadi AKSI (Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia),” tuturnya.

Studi INAP (Indonesian National Assessment Program) oleh Kemdikbud menunjukkan hal yang tak jauh berbeda. Pada 2016, kompetensi matematika siswa SD merah total. Sekitar 77,13 persen siswa SD di seluruh Indonesia memiliki kompetensi matematika yang sangat rendah (kurang), sebesar 20,58 persen cukup dan hanya 2,29 persen yang kategori baik.

Setelah INAP berubah menjadi AKSI (Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia), pemerintah kembali melakukan studinya. Hasilnya tidak bergerak signifikan. Kali ini asesmen untuk siswa SMP kelas VIII pada 2017 di 2 provinsi. Hasil kompetensi literasi matematika rerata hanya 27,51. Dari skor 0-100, hasil asesmen itu sangat buruk.

Hal senada disampaikan Presidium Gernas Tastaka, Ahmad Rizali. Kedaruratan terjadi karena jumlah responden yang memiliki kompetensi kurang sangat tinggi. Lebih dari 85 persen lulusan SD, 75 persen lulusan SMP dan 55 persen lulusan SMU hanya mencapai tingkat kompetensi siswa kelas 2 ke bawah.

“Kita tidak boleh mengabaikan temuan-temuan ini jika bangsa Indonesia ingin lebih baik, karena kualitas SDM bangsa ini mengalami penurunan signifikan dari tahun ke tahun” kata Ahmad Rizali.

Pengamat pendidikan, Indra Charismiadji menilai perlu adanya perubahan pola pengajaran matematika di sekolah. Guru diminta tak lagi mengajarkan materi, tetapi melatih kemampuan anak dalam matematika.

“Hilangkan kebiasaan mengejar angka untuk nilai rapor. Karena angka itu tidak mencerminkan kecerdasan anak. Biarkan anak menguasai matematika dasar, lalu aplikasikan ke kehidupan sehari-hari,” tuturnya.

Karena, lanjut Indra, anak sering bingung saat hitung-hitungan menjadi soal cerita. Misalkan, anak pergi ke kantin untuk beli roti 2 ditambah 4 minuman dengan harga yang berbeda. “Begitu dihadapkan dengan soal seperti ini anak langsung bingung. Biasakan juga anak memahami matematika kontektual, tak sekadar teori,” ujarnya.

Indra menyayangkan jika ada sekolah, dinas pendidikan hingga kepala daerah yang mendewa-dewakan perolehan angka tinggi di rapor. Padahal anak tidak paham apa yang diajarkan gurunya.

“Jadi wajar jika hasil penelitian itu menemukan responden usia 18 dan 28 tahun pun tak bisa menjawab pertanyaan matematika dasar yang sama seperti anak usia 8 tahun,” kata Indra.

Ia menyayangkan anggaran pendidikan yang telah dikeluarkan pemerintah begitu besar tidak menghasilkan lulusan berkualitas. Padahal, anggaran pendidikan mencapai Rp440 triliun per tahun. “Uang itu untuk apa saja. Ini perlu dievaluasi agar uang negara tidak terbuang sia-sia,” kata Indra menandaskan. (Tri Wahyuni)