JAKARTA (Suara Karya): Kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) untuk obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dinilai sebagai perkara perdata. Pasalnya, hulu dari perkara ini, berkaitan dengan perjanjian utang berupa surat utang yang dikeluarkan negara kepada obligor.
Demikian dikemukakan Wakil Direktur Indonesia Advocacy and Public Policy Hendra Hidayat kepada wartawan di Jakarta, Jumat (6/7).
“Karena itu, masyarakat sebaiknya lebih teliti dan cermat memandang perkara tersebut. Mengingat, SKL BLBI merupakan produk kebijakan negara yang diputuskan setelah melalui proses pembahasan lintas-lembaga, bukan keputusan personal,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, perkara tersebut, saat ini sedang diperiksa oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), dengan terdakwa mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung.
“Oleh karena itu, memidanakan seseorang dalam kasus ini harus hati-hati. Potensi salah orang (error in persona) sangat mungkin terjadi,” katanya menambahkan.
Sifat keperdataan itu, kata dia, tersirat dari keterangan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri periode 26 Oktober 1999 – 23 Agustus 2000/Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Kwik Kian Gie yang dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan pada Kamis (5/7).
“BLBI itu keluarnya (berbentuk) surat utang. (Proses pengucurannya) berlangsung selama 3 hari sebesar Rp144,5 triliun,” ujarnya.
Ketika di kemudian hari terjadi permasalahan dalam hal pengembalian utang tersebut, Kwik mengatakan, pemerintah telah melakukan berbagai upaya. Awalnya prinsip yang dipegang oleh Kwik adalah pengembalian berupa uang tunai. “Buat saya ukurannya ada uang tunai yang masuk atau tidak,” kata Kwik, lebih lanjut.
Perkembangan berikutnya, pengembalian utang itu dilakukan juga dengan penyerahan aset milik para obligor dengan memperhatikan asas komersial dan prospek usaha. Selain itu, Kwik juga menekankan adanya jaminan personal (personal guarantee) dari obligor. “Buat saya itu penting,” katanya.
Pada bagian lain, Kwik juga membeberkan tentang proses penerbitan SKL bagi para obligor yang ternyata dilakukan melalui serangkaian pembahasan yang melibatkan sejumlah pejabat. Saat itu, Kwik menjabat Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas (periode 9 Agustus 2001 – 20 Oktober 2004).
Menurut Kwik, pertemuan pertama berlangsung di rumah Presiden Megawati Soekarnoputri, Jl. Teuku Umar, Jakarta Pusat, dihadiri oleh Menko Ekuin Dorodjatun Kuntjoro-Djakti, Menteri Keuangan Boediono, Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi, dan Jaksa Agung MA. Rahman.
Hasilnya, disepakati penerbitan SKL untuk debitur kooperatif, meskipun Kwik berposisi menolak SKL. Pertemuan kedua di Istana Negara.
Pertemuan ketiga di Istana Negara dihadiri pejabat yang sama plus Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra.
“Hampir semua setuju SKL kecuali saya. Yang agak netral Bambang Kesowo (Menteri Sekretaris Negara),” kata Kwik.
Berkaitan dengan Sjamsul Nursalim, menurut Kwik, pertemuan tersebut tidak membahas khusus. Jadi, lanjut Kwik, ketua BPPN menandatangani SKL itu berdasarkan pada Inpres Nomor 8 Tahun 2002 dan keputusan-keputusan KKSK, terutama keputusan 17 Maret 2004.
“Tanda tangan ketua BPPN atas dasar Inpres hingga keputusan-keputusan KKSK, apabila semua kewajiban dipenuhi,” kata Kwik.
Dalam persidangan, Syafruddin mengatakan semua yang ditugaskan oleh KKSK kepada dirinya selaku ketua BPPN sudah dilaksanakan serta diverifikasi oleh tim hukum dan KKSK.
“Kami mengambil alih 12 perusahaan (milik Sjamsul Nursalim). Suatu hal yang tidak pernah dilakukan oleh ketua BPPN mana pun sejak zaman Gus Dur,” katanya.
Aset Dijual Murah
Saksi selanjutnya adalah Rizal Ramli yang menjabat Menko Ekuin periode 23 Agustus 2000 – 12 Juni 2001 dan Menteri Keuangan periode 12 Juni 2001 – 9 Agustus 2001.
Rizal menekankan pada kerugian negara yang jauh lebih besar ketika aset petambak Dipasena dijual murah oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 2007.
Menurut Rizal, kewajiban Sjamsul Nursalim sebesar Rp28,5 triliun termasuk utang petambak. BPPN mengusulkan restrukturisasi. Utang petambak dikurangi menjadi Rp100 juta/orang sehingga total 11 ribuan petambak menjadi Rp1,35 triliun.
“Tahun 2005, nilai aset yang diserahkan Rp4,5 triliun. Aneh bin ajaib, tahun 2007 dijual Rp200 miliar (oleh Menkeu Sri Mulyani). Ini kerugian yang jauh lebih besar,” tegas Rizal. (Gan)