JAKARTA (Suara Karya): Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muahdjir Effendy meminta sekolah untuk mengembangkan model pembelajaran tuntas. Sehingga siswa tak lagi dibebankan lagi dengan pekerjaan rumah (PR).
“Jika tak ada PR, anak bisa menggunakan waktunya untuk membantu orangtua untuk membersihkan rumah, memasak atau menjenguk teman yang sakit,” kata Muhadjir usai melantik sejumlah pejabat di lingkungan Kemdikbud, di Jakarta, Jumat (20/7).
Salah satu pejabat yang dilantik adalah Supriano sebagai Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK). Supriano sebelumnya adalah Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Kemdikbud.
Jika terpaksa ada PR, lanjut Muhadjir, guru harus meracik jenis pekerjaan rumah yang sesuai dengan tujuannya yaitu untuk pengayaan, penguatan dan pengayaan. Terutama pada hal-hal yang bersifat praktis agar anak lebih mahir dalam bidang tersebut.
“Jangan kaitkan PR dengan mata pelajaran tertentu. PR diberikan jika perlu saja,” ucap Muhadjir menegaskan.
Ditanyakan apakah anjuran tidak ada PR akan dibuat kebijakan, Muhadjir mengatakan, hal itu diserahkan ke masing-masing sekolah. Karena sekolah yang lebih tahu, mana mata pelajaran yang perlu diberi PR dan mana yang tidak.
“Jadi sifatnya fleksibel saja. Jika tidak siswa tak perlu diberi PR, jangan dicari-cari alasan supaya ada PR. Guru harus bisa membuat caranya sendiri agar pembelajaran bisa dituntaskan di sekolah,” katanya.
Terkait penerapan sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB), Muhadjir mengatakan, pihaknya akan melakukan evaluasi pada akhir Juli 2018. Kepala dinas akan diundang untuk menjelaskan penerapannya di wilayah masing-masing. Hasil evaluasi akan menjadi masukan untuk PPDB 2019.
Ditanyakan apakah pertemuan tersebut juga dibahas soal pemerataan guru, Muhadjir membenarkan hal. Pihaknya akan membangun tradisi baru untuk guru yaitu tour of area. Guru akan mengajar secara berpindah, tidak menetap pada satu sekolah seumur hidupnya.
“Kebijakan ini bukan maunya saya, tetapi amanat dari Undang-Undang (UU) Aparatur Sipil Negara (ASN). Setiap pegawai ASN harus maksimum bekerja disuatu tempat selama 5 tahun. Jadi nanti dilakukan redistribusi sesuai dengan kebutuhan,” ujarnya.
Terkait jumlah guru honorer lebih banyak dari guru ASN, Muhadjir hal itu tidak menjadi masalah. “Jumlah guru yang sedikit itu akan kita ratakan ke daerah-daerah. Karena masalahnya, jumlah guru yang sedikit itu menumpuk di kota-kota besar,” kata Muhadjir menandaskan. (Tri Wahyuni)