JAKARTA (Suara Karya): Lembaga Sensor Film (LSF) kembali menggelar sosialisasi ‘Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri’ (BSM) bagi sejumlah komunitas lewat kegiatan nonton bareng (nobar) film berjudul ‘Assalamualaikum Beijing 2: Lost in Ningxia’ yang saat ini tengah tayang di bioskop.
“Peserta nobar kali ini jumlahnya mencapai 400 orang dari beragam komunitas, mulai dari kampus, pelajar, komunitas film hingga pekerja sosial Majelis Pembinaan Kesejahteraan Sosial Muhammadiyah,” kata Ketua LSF, Naswardi, di Bioskop XXI, Sawangan Park Mall, Depok, Sabtu (28/6/25).
Hadir dalam kesempatan yang sama, Direktur Film, Musik dan Seni, Kementerian Kebudayan, Syaifullah Agam; Ketua Majelis Pelayanan Kesejahteraan Sosial Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Mariman Darto; penulis novel ‘Assalamualaikum Beijing 2: Lost in Ningxia’, Asma Nadia; pemain film Yasmin Napper dan Emir Mahira.
Hadir pula Wakil Ketua LSF, Noorca M. Massardi, Ketua Subkomisi Sosialisasi LSF, Titin Setiawati; Ketua Subkomisi Apresiasi dan Promosi LSF, Gustav Aulia; Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia, Prof dr Budu.
Ketua LSF Naswardi menjelaskan, sosialisasi BSM rencananya akan berlangsung selama Juni-Desember 2025 di 11 kota. Kegiatan sudah berlangsung di 6 kota yaitu Serang, Tangerang, Indramayu, Ternate, Medan, dan Tanjungpura. Dalam waktu dekat, BSM dilaksanakan di Makassar dan Kota Padang.
“Tiga kota lainnya masih kita cari, dengan kriteria budaya sensor mandiri di kota tersebut masih rendah,” ujarnya.
Naswardi menilai, BSM penting dikenalkan di kalangan muda di era digital saat ini, dimana menonton konten tayangan bisa langsung dari smartphone masing-masing.
“Ada kecenderungan anak usia 9-11 tahun mendapat akses menonton tayang berbasis internet melalui smartphone orangtuanya. Sehingga terbuka peluang anak-anak menonton konten orang dewasa yang tidak cocok untuk perkembangan jiwanya,” tuturnya.
Karena itu, Naswardi mengingatkan orangtua untuk melakukan pendampingan, pengawasan dan menyampaikan literasi agar anak memahami ada konten-konten yang tidak layak ditonton.
“Saat memberi smartphone ke anak, sering-seringlah dilihat apakah konten yang ditonton sesuai. Karena bisa saja, anak melihat tayangan 21+ yang tiba-tiba muncul di smartphonenya,” ucap Naswardi.
Untuk itu, lanjut Naswardi, penting pula diberikan kepada anak literasi tentang konten-konten yang hanya boleh ditonton anak. Apalagi banyak konten yang diakses melalui internet melalui platform digital atau media streaming tayang tanpa disensor.
“Film-film berbasis internet yang berkembang saat ini, tidak semuanya dikurasi dan disensorkan ke LSF. Kita harus memiliki kecerdasan untuk dapat memilah dan memilih tontonan yang sesuai dengan klasifikasi usia kita,” tuturnya.
Kemudahan akses itu, menurut Naswardi, menimbulkan kerentanan di masyarakat untuk menonton film yang tidak sesuai dengan klasifikasi usianya. Ada 4 klasifikasi usia di bioskop, yaitu Semua Umur (SU), 13+, 17+, dan 21+.
“Fakta ini menjadi tantangan serius bagi LSF, yang diberi amanat UU No 33 Tahun 2009 tentang Perfilman untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif menonton film dan iklan film,” ucapnya.
Karena itu, lanjut Naswardi, upaya yang dilakukan LSF lewat sosialisasi BSM diharapkan berdampak di masyarakat, terutama kalangan muda kita.
Masyarakat diharapkan mengambil peran proaktif dalam memberi pemahaman akan pentingnya menonton film sesuai klasifikasi usia, baik di lingkup keluarga sendiri maupun lingkungan masyarakat.
“Jagalah anak-anak dari unsur-unsur kekerasan, narkotika, pornografi, dan hal sensitif lainnya agar perkembangan psikologis anak tidak terganggun,” ucap Naswardi menandaskan.
Sementara itu Direktur Film, Musik dan Seni Kementerian Kebudayaan, Syaifullah Agam mengaku senang, karena film Indonesia sudah bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
“Lewat kegiatan nobar film nasional seperti ini, kita tingkatkan apresiasi terhadap karya anak bangsa, dan mencegah pembajakan,” kata Syaifullah seraya mengingatkan pentingnya BSM karena film sangat berdampak terhadap pembentukan karakter seseorang.
LSF membuat simulasi sederhana tentang penentuan klasifikasi usia atas hal sensitif dalam film dan iklan sebagai pengenalan bentuk konkrit dari peningkatan kesadaran berperilaku bijak, dalam memilah dan memilih tontonan sesuai klasifikasi usia.
Di bagian akhir, Naswadi kembi berharap kepada kalangan pekerja sosial untuk menjadi bagian dari agen perubahan dalam menyebarkan semangat sensor mandiri.
“Dengan budaya sensor mandiri yang kuat, masyarakat akan lebih kritis, bijak, dan bertanggung jawab dalam mengonsumsi serta menyebarluaskan konten audio-visual,” katanya.
Yang tidak kalah penting, penguatan BSM bukan hanya tugas pemerintah atau lembaga, tetapi sebuah gerakan bersama demi terciptanya ruang tontonan yang sehat dan berkualitas bagi semua lapisan masyarakat. (Tri Wahyuni)