Suara Karya

Tanoto Foundation: Kolaborasi Multipihak Kunci Tercapainya SDG’s

JAKARTA (Suara Karya): Tanoto Foundation kembali menekankan pentingnya kolaborasi multipihak demi tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs).

“Dampak nyata dari dukungan pendanaan global untuk SDGs harus lebih utama ketimbang keuntungan ekonominya,” kata CEO Tanoto Foundation, Benny Lee dalam pertemuan bertajuk ‘High Level Forum on Multi-Stakeholder Partnership (HLF-MSP) 2024’ di Bali, akhir pekan lalu.

Pertemuan yang digagas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) itu mengajak dunia untuk bersama-sama menghadapi berbagai tantangan global.

Dengan tema ‘Sthrengthening MSP for Development: Towards a Transformatif Change’ forum itu memfasilitasi seluruh pemangku kepentingan dalam menciptakan solusi inovatif dan aksi nyata, sehingga negara-negara di dunia dapat mencapai kemajuan secara berkelanjutan.

Dalam sesi bertema ‘Scalling Up SDG’s Financing Effectiveness: Stronger Commitments Greater Actions’, Benny menyatakan, Tanoto Foundation berkomitmen memberi dukungan pendanaan yang berdampak nyata terhadap pembangunan berkelanjutan.

“Mulai dari tahun ini hingga 2030, capaian SDGs perlu pendekatan multipihak untuk mendorong percepatan di tingkat lokal. Upaya itu juga perlu untuk mengatasi kesenjangan antara pembiayaan SDGs dan keefektivitasan program-programnya,” ujarnya.

Untuk itu, Tanoto Foundation menginisiasi sejumlah program kolaboratif. Program itun antara lain PASTI (Partnership To Accelerate Stunting Reduction In Indonesia) yang digencarkan untuk mempercepat penurunan angka stunting di Indonesia.

Program tersebut sesuai target pemerintah dalam menekan prevalensi stunting pada balita. Dalam program ini, Tanoto Foundation tidak bergerak sendiri, namun berkolaborasi dengan banyak pihak, seperti BKKBN, USAID, Amman Minerals, BCA, Bakti Barito, dan Wahana Visi Indonesia.

“Kemitraan ini, Tanoto Foundation menyediakan dana untuk mendukung pelaksanaan program BKKBN selama 4 tahun, dimulai pada 2022 hingga 2026,” tutur Benny.

Bertindak sebagai katalis, Tanoto Foundation menggalang dukungan finansial dan mengawasi desain program, pemilihan area, dan proses pemantauan untuk memastikan dampak secara keseluruhan.

Selain PASTI, Tanoto Foundation juga memprakarsai SDG Academy Indonesia yang menekankan pentingnya penguatan kapasitas baik secara internal maupun eksternal.

Menggandeng UNDP dan Bappenas, program itu memberi pelatihan pada lebih dari 15.000 individu dan memberi sertifikasi kepada 400 sosok-sosok pemimpin yang sesuai SDGs.

“Untuk mendukung pencapaian SDGs, para aktor dan pihak terkait harus memiliki kapasitas yang setara. SDGs juga perlu disesuaikan dengan konteks lokal atau kebutuhan spesifik di negara yang diintervensi,” katanya.

Karena itu, lanjut Benny, perlu dilakukan ‘localize’ SDGs. Lewat SDG Academy Indonesia, pihaknya berupaya meningkatkan kapasitas dan penyebaran praktik baik di kalangan aktor-aktor non-negara serta menerapkannya inline dengan kebutuhan dan kondisi Indonesia.

“Monitoring dan evaluasi juga menjadi elemen penting. Sebagai filantropi, kami selalu berupa menciptakan dampak yang maksimal dari tiap inisiatif yang ada,” ucap Benny menegaskan.

Karena itu, Tanoto Foundation memonitor dan mengevaluasi program-programnya secara rutin, sehingga perbaikan untuk menciptakan dampak yang lebih maksimal dapat terus dilakukan.

Benny menambahkan, kolaborasi tak hanya soal pendanaan, tetapi juga termasuk mengkolaborasikan pengetahuan dan keahlian masing-masing.

“Kami memulai berbagai kerja sama dengan berbagai pihak, tak hanya untuk mengumpulkan sumber daya, melainkan juga berbagi pengalaman, pengetahuan, dan jejaring, yang tentu akan melengkapi untuk mencapai tujuan kemitraan,” kata Benny.

Dalam sesi HLF-MSP 2024 tersebut, sebelumnya mengemuka adanya kesenjangan antara komitmen dan kontribusi nyata dalam pendanaan global terutama di negara-negara berkembang. Misalkan, komitmen Development Assistance Committee (DAC), namun hanya 5 negara yang konsisten memenuhi komitmen itu.

Dalam pendanaan iklim, negara-negara maju baru memenuhi komitmen pada 2022-2023. Sejumlah faktor melatari situasi-situasi tersebut, antara lain, motif politik dan kurangnya standarisasi global untuk menjamin kuantitas dan kualitas pendanaan.

Melalui diskusi disimpulkan, 4 prinsip efektivitas pendanaan pembangunan dunia, seperti termuat di Dokumen Nairobi, yakni kepemilikan negara, fokus pada hasil, kemitraan inklusif, dan transparansi dan akuntabilitas harus dipastikan terpenuhi.

Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Ekonomi dan Sosial Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) Li Junhua menyatakan, SDGs belum sesuai jalurnya.

Saat ini, lanjut Li, ada sekitar 600 juta penduduk dunia masih mengalami kemiskinan, sementara 50 persen perempuan tak memiliki akses pembiayaan.
Menurutnya, komitmen pendanaan global saat ini mungkin tak selaras dengan prinsip-prinsip SDGs.

“Beberapa upaya sedang dilakukan untuk menyelaraskan hal itu. Kita harus berhasil secara bersama-sama, melalui perubahan secara menyeluruh,” ujar Junhua.

Ditambahkan, pembiayaan inovatif harus berfokus pada dampak nyata di negara-negara berkembang. Bukan hanya pada bidang lingkungan hidup, tetapi mengintegrasikan pembangunan berkelanjutan dalam kebijakan multi-pihak, secara bilateral dan trilateral.

“Selain itu, perlunya mendorong kolaborasi negara Selatan-Selatan untuk memastikan aliran dana tersebut sudah efektif,” paparnya.

Panelis lain, yaitu Sekretaris Pembangunan Nasional Ekuador, Sariva Moya menyatakan, sejak 2015 pendanaan global memang terus meningkat.

Namun, lanjut Sariva, tak semua pendanaan itu membuahkan hasil nyata. Perlu pendekatan komprehensif untuk mengatasi berbagai tantangan pembiayaan, seperti adanya standar umum dan kerja sama multilateral.

“Tantangan pendanaan inovatif tak dapat diselesaikan sendiri-sendiri, tetapi harus melalui kolaborasi dan rasa saling percaya,” ucap Sariva. (Tri Wahyuni)

Related posts