JAKARTA (Suara Karya): Kementerian Kesehatan (Kemkes) bekerja sama dengan Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPKI) merilis buku saku berjudul Pertolongan Pertama pada Luka Psikologi (P3LP) di tempat kerja.
Buku tersebut diharapkan menjadi panduan bagi perusahaan maupun karyawan untuk mewujudkan kesehatan jiwa di tempat kerja. Karena perasaan bahagia akan berdampak positif terhadap produktivitas kerja.
“Selain di tempat kerja, kami tengah menyusun Buku Saku P3LP untuk siswa agar kesehatan jiwa juga terwujud di sekolah,” kata Direktur Kesehatan Jiwa Kemenkes, Imran Pambudi, dalam acara temu media di Jakarta, Rabu (2/10/24) terkait peringatan Hari Kesehatan Jiwa se-Dunia yang jatuh pada 10 Oktober.
Narasumber lain dalam acara itu adalah dokter spesialis okupasi, Palupi Agustina Djayadi dan psikolog klinis dari Ikatan Psikologis Klinis Indonesia (IPKI), Fifi Pramudika.
Imran Pambudi menjelaskan, penerapan P3LP di tempat kerja menjadi penting karena Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan ada 6,3 persen karyawan swasta dan 3,9 persen PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD yang mengalami gangguan mental emosional.
“Untuk itu pentingnya masalah kesehatan jiwa di tempat kerja digaungkan kembali untuk meningkatkan kesadaran bersama atas masalah ini,” ucapnya.
Ditambahkan, masalah kesehatan jiwa itu berdampak pada berbagai aspek. Pada aspek psikologis, pekerja bisa mengalami psikosomatis dan burnout. Pekerja juga bisa mengalami penyakit kardiovaskular, diabetes melitus, hingga gangguan imunitas pada aspek medis.
“Pekerja yang mengalami gangguan mental emosional juga bisa mengalami penurunan kinerja akibar konsentrasi yang menurun. Tak sedikit yang mengabaikan aturan kerja sehingga berdampak pada masalah ekonomi,” tutur Imran.
Mengutip data World Health Organization (WHO) pada 2019, kehilangan produktivitas akibat depresi dan kecemasan membuat ekonomi global kehilangan 1 triliun dollar Amerika.
Imran menyebut masalah kesehatan jiwa pada pekerja bisa dicegah melalui skrining. Namun, data Kemkes menunjukkan capaian skrining kesehatan jiwa di tempat kerja masih rendah yaitu 2,3 persen.
“Padahal, sebenarnya peluangnya sangat besar. Skrining bisa dilakukan saat melakukan medical check up pada penerimaan karyawan,” ucap Imran.
Sementara itu, psikolog klinis dari Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPKI), Fifi Pramudika mengatakan, mewujudkan kesehatan jiwa di tempat kerja perlu upaya dari berbagai pihak. Terutama dukungan dari tempat kerjanya.
“Menjaga keseinbangan kinerja antara pekerjaan dengan kehidupan pribadi sangat penting. Upaya itu tidak bisa diraih jika tidak didukung oleh perusahaan,” kata Fifi.
Ia menyebut sejumlah upaya yang bisa dilakukan perusahaan untuk mewujudkan kesehatan jiwa di tempat, seperti kegiatan ‘employee wellness’ yang dilakukan satu kali seminggu berupa olahraga bersama atau makan siang sehat.
“Perusahaan bisa menyiapkan katering sehat dari dapur di tempat kerja, agar karyawan tidak bingung cari makan siang. Situasi yang gembira akan meningkatkan mood baik,” ujarnya.
Jika karyawan harus lembur, lanjut Fifi, harus ada kompensasi berupa uang lembur dan makanan pendukung agar karyawan memiliki energi yang cukup dalam bekerja.
Pekerja juga dapat menerapkan strategi personal untuk menyeimbangkan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, seperti mengatur skala prioritas dalam bekerja dan menerapkan batasan yang sehat.
“Penting untuk kita fokus pada hal-hal yang bisa kita kendalikan. Jadi, dari sisi individu pegawai juga bisa menerapkan strategi personal,” kata Fifi.
Hal senada dikemukan Palupi Agustina Djayadi. Perempuan yang akrab dipanggil dokter Lulu itu memaparkan tanda-tanda kelelahan kronis yang patut diketahui perusahaan.
“Jam bekerja yang umum adalah 8 jam per hari. Kalau bekerja hingga 10-12 jam per hari itu sudah melebihi batas. Untuk itu, perlu diatur regulasi lembur agar kondisi kesehatan fisik dan mental karyawan tetap terjaga dengan baik,” ucapnya. (Tri Wahyuni)