JAKARTA (Suara Karya): Pakar astronomi dari Tim Unifikasi Kalender Hijriyah Kementerian Agama Cecep Nurwendaya menegaskan, tidak ada referensi empirik visibilitas (ketampakan) hilal awal Syawal 1442 H yang teramati di seluruh wilayah Indonesia pada Selasa (11/5/2021).
Hal itu disampaikan Cecep dalam pemaparan data posisi hilal jelang awal bulan Syawal 1442 H pada Sidang Isbat Awal Syawal 1442 H, di Auditorium Gedung Kementerian Agama, Jakarta, Senin (12/5/2021).
Semua wilayah Indonesia memiliki ketinggian hilal negatif antara minus 5,6 hingga minus 4,4 derajat. Hilal terbenam terlebih dahulu dibanding matahari.
Cecep menuturkan, Kementerian Agama melakukan pengamatan hilal di 88 titik di seluruh Indonesia. Sidang Isbat Awal Syawal 1442 H digelar secara daring dan luring dengan menerapkan protokol kesehatan.
Hadir secara fisik dalam Sidang Isbat Awal Syawal 1442 H yaitu Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi, Wakil Ketua Komisi VIII TB Ace Hasan Sadzily, Ketua MUI KH Abdullah Jaidi, serta Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kamaruddin Amin. Tampak pula beberapa perwakilan Duta Besar negara sahabat.
Sementara para pimpinan ormas, pakar astronomi, Badan Peradilan Agama, serta para pejabat Eselon I dan II Kementerian Agama lainnya mengikuti jalannya sidang isbat melalui media konferensi video.
Menurut Cecep, penetapan awal bulan hijriyah didasarkan pada rukyat dan hisab. Proses hisab sudah ada dan dilakukan oleh hampir semua ormas Islam. “Saat ini, kita sedang melakukan proses rukyat dan menunggu hasilnya,” katanya.
Menurut perhitungan hisab, lanjut Cecep, awal Syawal 1442 H jatuh pada Kamis (13/5/2021). Data itu bersifat informatif. “Secara hisab, awal Syawal 1442 H jatuh pada Kamis, 13 Mei 2021. Ini sifatnya informatif. Konfirmasinya menunggu hasil rukyat dan keputusan sidang isbat,” ujarnya.
Dikatakan Cecep, rukyat adalah observasi astronomis. Karena itu, harus ada referensinya. “Kalau ada referensinya maka hasilnya diterima. Jika tidak, maka hasilnya tidak bisa dipakai,” katanya.
Data di Pusat Observasi Bulan (POB) Cibeas, Pelabuhan Ratu menunjukkan posisi hilal jelang awal Syawal 1442 H atau pada 29 Ramadan 1442 H yang bertepatan dengan 11 Mei 2021, secara astronomis tinggi hilal: minus 4,38 derajat; jarak busur bulan dari matahari: 4,95 derajat; umur hilal minus 8 jam 14 menit 44 detik.
“Minus menunjukkan hilal belum lahir,” tutur Cecep.
Cecep menjelaskan, sidang Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS) menyatakan, kriteria imkanurrukyat disepakati adalah minimal tinggi hilal dua derajat, elongasi minimal 3 derajat, dan umur bulan minimal delapan jam setelah terjadi ijtima’.
Karena ketinggian hilal di bawah dua derajat bahkan minus, maka tidak ada referensi pelaporan hilal awal Syawal teramati di wilayah Indonesia.
Selain itu, lanjut Cecep, juga tidak ada referensi empirik visibilitas hilal jika hilal awal Syawal teramati di wilayah Indonesia.
Menurut Cecep, Limit Danjon menyebutkan, hilal akan tampak jika jarak sudut bulan-matahari lebih besar dari 7 derajat. Konferensi penyatuan awal bulan Hijriyah International di Istanbul tahun 1978 mengatakan, awal bulan dimulai jika jarak busur antara bulan dan matahari lebih besar dari 8 derajat dan tinggi bulan dari ufuk pada saat matahari tenggelam lebih besar dari 5 derajat.
Rekor pengamatan bulan sabit dalam catatan astronomi modern adalah hilal awal Ramadan 1427 H di mana umur hilal 13 jam 15 menit dan berhasil dipotret dengan teleskop dan kamera CCD di Jerman. Bahkan, dalam catatan astronomi modern, jarak hilal terdekat yang pernah terlihat sekitar 8 derajat dengan umur hilal 13 jam 28 menit.
“Hilal berhasil diamati oleh Robert Victor di Amerika Serikat pada 5 Mei 1989 dengan menggunakan alat bantu binokulair atau keker,” katanya. (Tri Wahyuni)