JAKARTA (Suara Karya): Peluang bisnis wisata halal kini makin menjanjikan. Hal itu terlihat pada sejumlah negara non muslim yang mulai menyediakan fasilitas bagi wisatawan muslim untuk ibadah shalat dan tempat makanan halal.
“Mastercard-HalalTrip Muslim Millenial Travel Report 2017 memprediksikan pasar wisata halal akan tumbuh hingga mencapai nilai 100 miliar dolar AS pada 2025,” kata Fouder & Chairman Indonesia Islamic Travel Communication Forum (IITCF) Priyadi Abadi di Jakarta, Sabtu (2/6).
Bahkan segmen perjalanan muslim secara keseluruhan, menurut Priyadi, diperkirakan mencapai 300 miliar dolar AS pada 2026. Hal itu merujuk pada data Word Travel and Tourism Council 2013 yang memperlihatkan nilai transaksi pada segmen wisata muslim mencapai 140 miliar dolar AS.
“Transaksi itu diperkirakan tumbuh hingga 238 miliar dolar AS pada 2019,” ucap Priyadi Abadi.
Untuk itu, Priyadi menilai, Indonesia sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim seharusnya lebih maju dalam pengembangan wisata halal dibanding dengan negara lain.
“Jangan sampai Indonesia tertinggal dibanding negara non muslim. Padahal, Indonesia berpotensi menjadi kiblat wisata halal dunia,” ujarnya.
Priyadi menambahkan, pihaknya akan terus mengedukasi masyarakat dengan mengubah mindset bahwa liburan ke Jepang, Korea atau Eropa bisa digarap oleh travel muslim. Dengan menjual wisata halal yang ada di negara tersebut.
“Travel muslim kini bisa memperluas pasarnya tak hanya urusan umrah dan haji, tetapi juga wisata halal di negara-negara non muslim,” tuturnya.
Priyadi mengakui hal itu bukan pekerjaan mudah. Namun, hal itu bukan mustahil dilakukan dengan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknta seputar wisata halal yang bisa dijual.
Selain mengedukasi masyarakat dalam bidang pariwisata, Priyadi menambahkan, pihaknya tahun lalu melakukan terobosan dengan cara menyatukan produk travel muslim melalui konsorsium. Hal itu untuk wisatawan muslim yang ingin jalan-jalan ke mancanegara dengan konsep Islami.
“Konsorsium disebut Muslim Holiday Consorsium. Setiap bulan kami buat acara sharing destinasi, evaluasi dan problem solving,” ujarnya.
Ditambahkan, lahirnya Muslim Holiday merupakan bentuk keprihatinan, lantaran minimnya travel muslim yang menggarap pasar wisata muslim. Kebanyakan travel muslim masih bermain di zona aman yaitu pasar umrah dan haji.
“Hasil pantauan kami, baru sekitar 20 persen travel muslim yang menggarap pasar wisata muslim. Akibatnya, pasar yang sangat menjanjikan ini masih dipegang oleh travel umum,” ujarnya.
Priyadi menjelaskan, saat ini pihaknya memiliki dua agenda besar melalui IITCF. Yaitu, perhatian pada edukasi, berbagi dan bersinergi antarsesama travel muslim. Kedua, pelatihan bagi pemil travel muslim, tour leader maupun tour planner.
“Muslim Holiday Consorsium akan membuat paket tour muslim yang bisa dijual bersama. Hal itu jadi lebih efisien dan dapat membesarkan travel muslim yang tergabung dalam konsorsium,” kata Priyadi. (Tri Wahyuni)