JAKARTA (Suara Karya): Universitas Terbuka (UT) akhirnya menggelar wisuda perdana bagi 41 lulusannya yang ada di Jepang. Didukung Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Tokyo dan Sentra Layanan UT (SALUT) Jepang, wisuda berlangsung di Balai Indonesia Tokyo, Minggu (8/12/24).
Hadir dalam kegiatan itu, Wakil Rektor Bidang Riset, Inovasi, Kerjasama dan Bisnis UT, Rahmat Budiman; Direktur UT Layanan Luar Negeri (LLN), Pardamean Daulay, Koordinator Pelaksana Fungsi Penerangan dan Sosial Budaya (Pensosbud) KBRI Tokyo, Muhammad Al Aula; serta Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Tokyo, Prof Amzul Rifin.
Selain itu hadir Pelaksana Fungsi Pensosbud KJRI Osaka, Andy Laksmana; Kepala Sekolah Indonesia Jepang, Ari Driyaningsih; Pengurus SALUT Jepang, Usman Choiruddin.
Wisuda juga dihadiri para petinggi perusahaan Jepang dari tempat kerja para lulusan, antara lain Senior Vice President of JITCO, Shigeo Matsutomi; Chairman Jinsen Shidoukai, Norihiro Hayashi; Nagoya Institute of Technology, Prof Hirokazu Tanaka dan Prof Yoshiaki Hamada; dan Chairman RAC Academy, Rousuke Sati.
Tamu lainnya adalah Managing Director of Gaya International, Lilis Ariwaty; Pengurus Kelompok Belajar (Pokjar) UT Jepang, Sigit Sugiharto; Perwakilan Persatuan Mahasiswa FEB-Manajemen UT Layanan Luar Negeri di Jepang, Ida Rosida dan rekan-rekan wisudawan.
Wakil Rektor Bidang Riset, Inovasi, Kerjasama dan Bisnis UT, Rahmat Budiman dalam sambutannya, menyampaikan terima kasih kepada para pemimpin perusahaan yang telah memberi kesempatan bagi Pekerja Migran Indonesia maupun Pekeja Magang di Jepang untuk bisa kuliah sambil bekerja.
“Semoga layanan pendidikan tinggi yang disediakan UT dapat meningkatkan kualifikasi para pekerja migran maupun pekerja magang Indonesia di Jepang,” ujarnya.
Keberhasilan tersebut, lanjut Rahmat, diharapkan dapat memicu semangat Warga Negara Indonesia (WNI) di Jepang, khususnya pekerja magang untuk mengikuti jejak teman-teman yang berhasil meraih gelar sarjana,” tuturnya.
Ditambahkan, UT hingga kini mengemban tiga mandat dari pemerintah untuk menyelesaikan masalah bangsa, yaitu kesempatan kuliah bagi pekerja migran Indonesia yang tersebar di berbagai negara.
“Model pembelajaran jarak jauh atau pembelajaran online yang diterapkan UT sesuai dengan mandat tersebut, karena perkuliahan tidak mengharuskan mahasiswa datang ke kampus. Hal itu selaras dengan tagline UT ‘Menjangkau yang tidak terjangkau’,” ucap Rahmat.
Direktur UT Layanan Luar Negeri, Pardamean Daulay menambahkan, UT telah melebarkan sayap penyediaan layanan pendidikan jarak jauh ke berbagai negara di dunia, khususnya negara tujuan penempatan Pekerja Migran Indonesia, seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Hongkong, Taiwan, Korea Selatan, Saudi Arabia dan Jepang.
“Layanan UT di luar negeri saat ini tersedia di 56 negara dan 90 kota. Jumlah mahasiswa UT di luar negeri mencapai 6.527 orang. Di Jepang sendiri ada 2.867 orang,” katanya.
Karena itu, lanjut Pardamean, acara wisuda di Jepang akan menjadi agenda tahunan seperti halnya di Korea, Taiwan, Arab Saudi, Hongkong, Singapura dan Malaysia.
Hal itu selaras dengan meningkatnya permintaan tenaga kerja Indonesia ke Jepang. Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), mencatat sampai Oktober 2024, jumlah pekerja migran Indonesia di Jepang mencapai 10.774 orang.
Pardamean menyampaikan terima kasih atas dukungan yang diberikan SALUT Jepang. Berkat promosi dan bantuan layanan yang dilakukan, UT semakin dikenal pekerja migran Indonesia di luar negeri yang ingin melanjutkan pendidikan tingginya.
Lembaga SALUT yang didirikan diaspora Indonesia di luar negeri saat ini baru ada di tiga negara, yaitu Jepang, Korea dan Taiwan. “Semoga makin banyak diaspora Indonesia yang tergerak hatinya untuk mendirikan SALUT guna memudahkan WNI atau WNA yang ada di luar negeri kuliah di UT,” katanya.
Ditanya program studi di UT yang paling banyak dipilih mahasiswa Indonesia di luar negeri, Pardamean menyebut, prodi manajemen dan bahasa Inggris penerjemah. Ilmu tersebut diharapkan bisa mendongrak karir selama bekerja di perusahaan luar negeri.
“Ada cukup banyak permintaan dari pekerja migran Indonesia di Jepang untuk pembukaan prodi bahasa Jepang. Hal itu akan kami bahas selanjutnya, karena banyak yang harus disiapkan sebelum membuka prodi baru,” ujar Pardamean menandaskan. (Tri Wahyuni)