JAKARTA (Suara Karya): Seruan keras untuk menyelamatkan kawasan konservasi laut Raja Ampat dari ancaman aktivitas penambangan terus menguat. Kini JANGKAR (Jaringan Kapal Rekreasi) serta Kementerian Kelautan dan Perikanan mengingatkan soal bahaya kerusakan permanen terhadap ekosistem dan citra wisata, di Provinsi Papua tersebut.
Dewan Penasehat JANGKAR, Aji Sularso dalam diskusi dengan wartawan di Jakarta, Rabu (18/6/2025) menyatakan bahwa begitu citra wisata Raja Ampat rusak, akan sangat sulit untuk membangunnya kembali. Kerusakan lingkungan bawah laut akibat pencemaran, menurutnya, akan memukul sektor wisata selam yang menjadi tulang punggung ekonomi lokal.
“Menjaga laut bukan hanya soal hari ini, tapi tentang tanggung jawab moral terhadap generasi masa depan. Kolaborasi adalah kunci utama,” ujarnya.
Raja Ampat, dengan keindahan terumbu karang, hutan mangrove, dan padang lamun yang unik, kini menghadapi tekanan serius dari praktik penangkapan ikan merusak, pencemaran, serta perilaku wisata yang tidak bertanggung jawab. JANGKAR, yang kini menaungi lebih dari 90 kapal wisata, menyatakan siap berada di garis depan perlindungan perairan.
Lewat pendekatan edukatif dan praktik pelayaran ramah lingkungan, anggota JANGKAR tak hanya mengantar wisatawan menikmati keindahan laut, tapi juga berperan aktif dalam pelaporan aktivitas ilegal dan perlindungan ekosistem.
“Jadi, bukan hanya kegiatan penambangan yang merusak laut Raja Ampat, ada sampah plastik, pengebkman ikan dan aktivitas merusak lainnya harus kita hentikan dan cegah bersama,” kata Aji.
Ia ingin kapal wisata menjadi agen perubahan. Dari edukasi wisatawan sampai pengawasan langsung di laut, dan semua bisa dilakukan bersama.
“Kapal wisata tak lagi hanya alat transportasi, melainkan juga duta pelestarian laut,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Konservasi Ekosistem dan Biota Perairan, Firdaus Agung Kunto Kurniawan, menyoroti kompleksitas tumpang tindih kewenangan pengelolaan antara kawasan konservasi laut dan kawasan tambang yang sering berada di daratan atau pulau-pulau kecil yang secara administratif tunduk pada rezim kehutanan atau sektor energi.
“90 persen kawasan konservasi laut itu basisnya adalah perairan. Tapi banyak tambang berada di pulau-pulau yang secara hukum dikelola Kementerian Kehutanan dan perizinan tambangnya diatur oleh sektor ESDM. Akhirnya kawasan konservasi laut jadi pihak yang menerima dampak,” ujarnya.
Firdaus mengungkapkan bahwa saat ini KKP sedang melakukan identifikasi dan pemetaan terhadap titik-titik tambang, izin KKPRL (Keserasian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut), hingga titik-titik pencemaran akibat sedimen dan tailing. Namun ia mengakui, proses ini tidak sederhana.
“Kita sedang mendata. Tapi harus jujur, tidak semua pencemaran langsung terdeteksi karena sifatnya dinamis, sedimen bisa terbawa arus ke mana-mana. Itu sebabnya butuh kajian lebih dalam,” jelasnya.
Ia juga menekankan bahwa kerusakan ekologis seperti kekeruhan air di sekitar kawasan pulau-pulau sudah dilaporkan terjadi, meskipun sejauh mana kerusakan tersebut belum seluruhnya terukur secara kuantitatif.
Lebih jauh, Firdaus menyinggung nilai ekonomi yang menjadi taruhan besar. “Total nilai ekonomi Raja Ampat mencapai lebih dari Rp20 triliun per tahun. Pertanyaannya, apakah itu sebanding dengan nilai tambang nikel yang masuk? Jangan sampai kerugian Rp386 triliun seperti kasus timah terulang lagi karena salah kalkulasi,” tegasnya.
Firdaus menegaskan bahwa KKP tidak menolak keberadaan tambang sebagai sumber daya, namun menekankan perlunya diskusi publik yang sehat, transparan, dan berbasis data ilmiah.
“Kita tidak mengkontraskan tambang versus konservasi. Tapi pengambilan keputusan harus mempertimbangkan cara meminimalkan dampak dan memaksimalkan manfaat secara adil,” katanya.(Boy)