JAKARTA (Suara Karya): Masalah kesehatan jiwa (keswa) perlu disisipkan dalam debat pemilihan kepala daerah (pilkada) maupun anggota legislatif. Hal itu sebagai langkah antisipasi bagi para calon agar siap menghadapi kekalahan.
“Bukan rahasia lagi jika banyak calon kepala daerah maupun anggota legislatif yang mengalami gangguan jiwa, setelah tak terpilih,” kata Rektor Universitas Paramadina, Firmanzah dalam diskusi bertajuk ‘Mengidentifikasi Peran dan Tanggung Jawab Kolektif dalam Implementasi UU Kesehatan Jiwa’ di Jakarta, Rabu (2/5).
Pembicara dalam diskusi itu Ketua Dewan Pakar Badan Kesehatan Jiwa (Bakeswa), Nova Riyanti Yusuf, Dewan Penasehat Bakeswa, Sarwono Kusumaatmadja, Deputi Bidang Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN), Diah Setia Utami, kritikus sastra, Acep Iwan Saidi, dan dosen senior Universitas Katolik (Unika) Atma Jaya, Irwanto.
Dalam kesempatan yang sama, Bakeswa dan Unika Atma Jaya menandatangani nota kesepahaman dalam sosialisasi keswa. Rencana kerja meliputi pembentukan gugus depan keswa yang berkolaborasi dengan sejumlah perguruan tinggi.
Pembentukan Gugus Depan Keswa disambut baik Rektor Paramadina, Firmanzah. Karena perguruan tinggi memiliki sumber daya berlimpah untuk mengimplementasikan UU No18/2014 tersebut di masyarakat.
“Waktunya pun tepat, karena tahun depan adalah tahun politik. Lewat sosialisasi ini, diharapkan, para pelaku dalam pilkada maupun pemilihan anggota legislatif menjadi lebih paham tentang kesehatan jiwa,” ujarnya.
Untuk itu, Firmanzah berharap, tak ada lagi pemberitaan miris seputar masalah kesehatan jiwa pascapilkada. Bagi mereka yang kalah bisa legowo, dan peserta yang menang tidak sombong dan semena-mena.
Hal senada dikemukakan Ketua Dewan Pakar Bakeswa, Nova Riyanti Yusuf yang juga Ketua Panitia Kerja RUU Kesehatan Jiwa tahun 2012-2104. Ia menyayangkan UU No 18 yang telah disahkan sejak 4 tahun lalu itu belum ada tindak lanjutnya.
“Apalah artinya sebuah undang-undang, tanpa implementasi,” ujar perempuan yang akrab dipanggil Noriyu itu.
Ia menyoroti anggaran kesehatan jiwa yang kecil. Hal itu terlihat pada anggaran Kementerian Kesehatan 2016 yang mengalokasikan Rp31 miliar, kemudian terblokir sebesar Rp11 miliar. Dana tersisa sebesar Rp20 miliar.
Kondisi itu dibenarkan Diah Setia Utama. Sebelum bertugas di BNN, Diah adalah Direktur Kesehatan Jiwa Kemenkes. Anggaran untuk kesehatan jiwa di setiap provinsi dialokasikan sebesar Rp30 juta per tahun.
“Di era otonomi daerah, implementasi kesehatan jiwa belum berjalan maksimal. Butuh dukungan pemerintah daerah, jika ingin masalah keswa mendapat perhatian,” ucap Diah menandaskan. (Tri Wahyuni)