JAKARTA (Suara Karya): President Development Center (PDC), President University (Presuniv) bekerja sama dengan CEO dan Head Consultant META Consulting dari Korea Selatan, John Kim berbagi kiat sukses berbisnis dengan pengusaha dari Korea Selatan (Korsel).
Dalam workshop bertajuk ‘Building Successful Collaborations with Korean Businesses: Get an Ultimate Guide to Korean Business Etiquette and Culture to Win Any Business Deal’ yang digelar di Gedung PDC di Cikarang, Rabu (26/7/24) disebutkan ada 4 hal yang perlu diperhatikan.
“Pertama, pahami dulu budaya perusahaan di Korsel. Hal itu penting agar tidak salah langkah kedepannya,” kata Wakil Rektor Bidang Akademik, Riset dan Inovasi Presuniv, Dr Adhi Setyo Santoso dalam sambutan pembukanya.
Jika membahas soal budaya perusahaan, lanjut Adhi, selama ini kita lebih sering mendengar cerita versi barat atau western. Jarang yang sekali dari Asia Timur, atau bahkan Asia Tenggara.
“Buku-buku tentang budaya perusahaan pun lebih banyak yang berasal dari barat. Workshop kali ini menjadi menarik karena kita membahas budaya perusahaan dari Korea Selatan,” ujarnya.
Peraih gelar MBA dari KAIST College of Business, Korsel itu mengungkap satu budaya perusahaan yang mengemuka di Korsel adalah pali-pali atau cepat-cepat.
“Orang Korsel memang suka bekerja dengan cepat. Bahkan sebagian orang mungkin menganggapnya terburu-buru. Meski begitu, hasil kerjanya tetap harus baik, bahkan kalau bisa sempurna,” katanya.
Presuniv pun terkesan dengan budaya kerja di Korsel, yang dinilai berhasil dalam melakukan transformasi perekonomiannya. Yang semula ditopang oleh industri manufaktur, kini beralih ke industri kreatif.
“Belajar dari keberhasilan industri kreatif di Korsel, kami terdorong untuk membuka konsentrasi Korean Wave (K-Wave) di Program Studi Business Administration, Fakultas Bisnis,” cetusnya.
Memahami budaya perusahaan Korsel belakangan ini memang menjadi sangat penting. Apalagi seiring dengan semakin maju dan ekspansifnya bisnis Korsel di Indonesia.
Korsel dan Indonesia sama-sama merdeka pada Agustus 1945. Lalu, sepanjang tahun 1970-an, kinerja perekonomian Korsel dengan Indonesia nyaris tidak banyak berbeda.
“Tapi, kini Korsel sudah menjadi negara berkembang, sementara Indonesia masih tetap berstatus sebagai negara sedang berkembang,” ujar Adhi.
Pada 2021, Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Korsel sudah mencapai 35,6 juta dollar Amerika, Indonesia masih 4,8 juta dollar Amerika.
Saat ini ada 2.000-an perusahaan Korsel yang beroperasi di Indonesia. Selain manufaktur, berbagai produk kreatif Korsel kini mendominasi pasar Indonesia, seperti K-Pop atau K-Drama. Termasuk kuliner dan produk kecantikan.
“Agar bisa berkolaborasi, para pebisnis Indonesia tentu perlu memahami budaya dan etika bisnis perusahaan-perusahaan Korsel,” tuturnya.
Workshop yang dipandu Director of Marketing Presuniv, Suresh Kumar itu diikuti puluhan manajer dan perwakilan dari perusahaan yang ada di kawasan industri Jababeka dan sekitarnya.
John Kim dalam kesempatan yang sama mengungkapkan, para pekerja di Korsel terbiasa bekerja dengan waktu yang lebih lama. “Kami bekerja rata-rata 52 jam per minggu, sementara di Indonesia hanya 40 jam per minggu,” ungkapnya.
Sebagai konsultan, Kim banyak bergerak dalam isu-isu organizational culture, leadership development, intercultural management, performance management, change management, strategic planning, dan sebagainya.
Klien Kim adalah perusahaan multinasional dari Korsel, seperti Samsung Electronic, LG, Hyundai Motor Group, Lotte, SK Telecom dan beberapa lainnya.
Soal budaya kerja pali-pali, Kim menjelaskan, orang Korsel terbiasa bekerja dengan ritme cepat. Mereka juga tidak terbiasa menunggu atau menunda-nunda pekerjaan.
“Budaya kerja pali-pali mungkin membuat kita menjadi lebih stress, tetapi juga sangat menantang,” ucapnya.
John Kim menambahkan, masyarakat Korsel kini menikmati hasilnya. Budaya kerja pali-pali, terbukti membuat Korsel mampu dengan cepat menjadi negara maju dan inovatif.
Salah satu budaya kerja yang dijunjung tinggi masyarakat Korsel adalah menghargai senioritas. Itu tercermin dari kesediaan orang yang lebih muda untuk membungkukkan badan kepada seniornya.
Isu penting yang juga dibahas Kim soal trust atau kepercayaan. Pebisnis Korsel datang ke Indonesia dengan target tertentu. Kepercayaan jadi persoalan kalau mereka tidak mencapai target.
Kalau sudah hilang kepercayaan, memang sulit dipulihkan. Sebab mereka berbisnis di Indonesia, bukan di negaranya sendiri.
Kerja sama tim, ungkap Kim, juga menjadi isu penting dalam budaya dan etika kerja masyarakat Korsel. Masyarakat Korsel senang dengan kerja sama tim. Setiap anggota harus mendengar dan mematuhi perintah team leader sebagai pengambil keputusan.
“Apalagi team leader-lah yang harus bertanggung jawab terhadap capaian kerja tim,” katanya.
Menjawab pertanyaan peserta soal cara kerja sama dengan perusahaan Korsel, ungkap Kim, proposal bisnis sebaiknya diajukan melalui manajer level menengah terlebih dahulu.
“Sebaiknya jangan langsung ke CEO. Sebab manajer level menengah bisa tersinggung kalau dipangkas begitu saja. Kalau langsung ke CEO mungkin ada kendala bahasa,” ungkapnya.
Kim juga menekankan pentingnya pendekatan informal. Masyarakat biasa mengundang makan siang atau makan malam sebagai salah satu cara untuk membangun relasi.
“Ini penting sebelum akhirnya perusahaan bisa menjalin kerja sama,” katanya. (Tri Wahyuni)