JAKARTA (Suara Karya): Indonesia belajar dari Brazil dalam komersialisasi bahan bakar nabati. Hal itu terungkap dalam webinar bertajuk “The Development of Biofuels Indonesia-Brazil: “Lesson Learned from The Development of Brazilian Bioethanol -Based Biofuel” pada Rabu (9/9/20).
Hadir dalam kesempatan itu Duta Besar Brazil untuk Indonesia, HE Jose Amir da Costa Dornelles; CEO of Brazilian Sugarcane Industry Association (UNJCA), Evandro Gussi; President of DAT AGRO Consulting, Plinio Nastari; Executive Director of The Latin American Petrochemical and Chemical Association (APLA) Flavio Castellari, Konselor Kedutaan Besar Brazil untuk Indonesia Daniel Costa Fernandes serta Head of the Division for Energy Progress (MOFA), Brazil, Renato D Godinho.
Dari Indonesia hadir anggota Tim Pengembangan Bahan Bakar Nabati Berbasis Kelapa Sawit-ITB, IGB Ngurah Makertihartha; Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sabat Sinaga serta Staf Ahli Menristek Bidang Relevansi dan Produktivitas, Ismunandar.
Menristek Bambang mengemukakan, kegiatan itu digelar merujuk pada keberhasilan Pertamina dan Institut Teknologi Bandung (ITB) dalam uji coba produksi ‘green diesel’ D100 dari ‘Refined Bleached Deodorized Palm Oil’ (RBDPO) kelapa sawit. Uji coba berkapasitas 1.000 barel perhari itu berada di Kilang Pertamina Dumai.
“Keberhasilan uji coba produksi Green Diesel memberi secercah harapan untuk bangkitnya kemandirian energi terbarukan di Indonesia,” kata Menteri Riset Teknologi (Menristek)/Kepala Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Bambang Brodjonegoro saat membuka kegiatan webinar.
Bambang memprediksikan bahan bakar nabati berbasis sawit akan membuat perekonomian Indonesia bergerak lebih cepat untuk pulih. Mengingat sektor energi memiliki peran penting dan strategis bagi perekonomian nasional.
“Indonesia harus berubah, bagaimana melepas ketergantungan akan bahan bakar fosil ke bahan bakar terbarukan. Untuk itu, kita perlu meningkatkan kapasitas bahan bakar terbarukan dalam energi campuran sekitar 23 persen pada 2025 dan sekitar 31 persen pada 2050,” ujarnya.
Ditambahkan, pemerintah memiliki komitmen kuat dalam mendorong inovasi bahan bakar nabati ‘biohidrocarbon’ sebagai solusi pemenuhan kebutuhan konsumsi bahan bakar dalam negeri yang sejak 2014 lalu mencapai 1.790.000 barrel per hari. Bahan bakar itu juga memberi peluang pemberdayaan korporatisasi petani sawit rakyat dalam industrialisasi IVO sebagai bahan baku ‘biohidrocarbon’.
“Termasuk kilang ‘biohidrocarbon stand alone’ kecil yang terintegrasi dengan kebun sawit yang tentunya akan meningkatkan kesejahteraan hidup para petani. Biohidrocarbon merupakan komoditas sumber daya alam terbarukan di Indonesia yang jumlahnya berlimpah,” kata Bambang.
Saat ini, Indonesia dikenal sebagai negara terbesar penghasil dan pengekspor kelapa sawit, bersaing dengan Malaysia. Namun permainan telah berubah, Indonesia tak boleh hanya sekadar ekspor, tetapi perlu adanya penambahan nilai dari hasil produksi kelapa sawit.
Bambang menjelaskan, karakteristik ‘Green Diesel’ D100 sama sekali berbeda dengan biodiesel yang ada di pasaran, yang dikenal dengan istilah B20 atau B30. Green Diesel D100 diproduksi dari bahan baku 100 persen RBDPO yang diolah menggunakan Katalis Merah Putih hasil pengembangan ITB dan Pertamina.
“Riset yang dilakukan Pertamina dan ITB menghasilkan iohidrocarbon beroktan sangat tinggi, dengan karakteristik fisika dan kimia sama persis dengan solar yang diproduksi dari bahan bakar fosil,” ucap Bambang menegaskan.
Dengan demikian, lanjut Bambang, penggunaan bahan bakar Green Diesel D100 pada kendaraan tidak akan menurunkan kinerja mesin atau menuntut dilakukan modifikasi tertentu pada mesin seperti pada kendaraan dengan asupan biodiesel B30 berbasis FAME.
“Keberhasilan Indonesia dalam uji coba produksi Green Diesel D100 skala industri akan mengambil pelajaran dari keberhasilan Brazil yang lebih dulu memanfaatkan tebu sebagai bahan bakar nabati berskala komersial. Khususnya keberhasilan Brazil dalam pengaturan kebijakan penentuan harga Tebu-Gula-Etanol.
Ditambahkan, pengalaman Brazil tersebut dapat diadaptasi Indonesia dalam kebijakan regulasi penentuan harga sawit-minyak sawit-IVO (sebagai bahan baku biohidrocarbon) serta dukungan riset dan pengembangan DNA sawit unggul berkelanjutan.
“Ini merupakan kesempatan yang luar biasa, karena kami bisa saling tukar pengalaman dalam sektor pengolahan bahan bakar nabati, yang nantinya akan memberi keuntungan dua negara,” tutur Bambang.
Sebagai informasi, tebu saat ini merupakan bahan baku energi yang sangat penting di Brazil di bawah minyak bumi. Tebu dapat menghasilkan etanol untuk menggantikan 46 persen pemakaian bensin di Brazil.
Pada kesempatan yang sama, Pelaksana tugas (Plt) Deputi Bidang Penguatan Inovasi, Kemristek/BRIN, Jumain Appe menyatakan, lewat webinar kedua negara dapat meningkatkan kompetensi sumber daya manusia, pengembangan teknologi, dan model bisnis bahan bakar nabati di masa depan. (Tri Wahyuni)