JAKARTA (Suara Karya): Perkembangan China yang luar biasa menjadi perhatian bagi Pusat Pengkajian Strategi Nusantara (PPSN), yang akan meluncurkan buku tentang negara komunis China sebagai sebuah kekuatan ekonomi baru dan di sisi lain dinilai mengkhawatirkan sebagai penjajah baru dalam idiologi.
“Buku ini ditulis dengan tujuan meningkatkan pemahaman tentang peradaban China yang maju oleh karena memegang teguh warisan budaya leluhur yang kuat, bersandar kepada pandangan hidup konfusianistik,” demikian petikan kata pengantar acara bedah buku “Raksana Baru Dari Timur” yang ditulis pada 30 Juni 2018 oleh Adi Teruna Effendi, di rumah (alm) Mr Moh Roem, Jakarta, Minggu (5/8).
Menurut Adi, China tumbuh kuat menyamai negara besar lainnya di dunia ditunjang oleh filsafat hidup bangsa China, yaitu konfusianisme. Filsafat yang sempat diabaikan tetapi dikembalikan oleh Deng Xiaoping dan diterapkan dalam kehidupan mereka sehingga China melejit.
“Adalah Deng Xiaoping yang memahami genahnya pandangan hidup konfusianistik untuk dibudayakan kembali ke dalam kehidupan bangsa China, dan ternyata apa yang difikirikan Deng benar adanya. Kini China boleh berbangga bahwa negaranya duduk dan berdiri sama tinggi dengan negara maju manapun di dunia,” urainya.
Di sisi lain membesar ekonomi China patut pula diwaspadai. “Bahkan dampak dari kemajuan ekonomi China itu pun patut diwaspadai oleh kita sebagai bangsa yang hidup bertetangga dengan mereka. Sebab kita, sangat mengkhawatirkan kemungkinan terjadi hostile take over apabila kita gagal memahami makna geopolitik khususnya hubungan kita dengan negara tirai bambu tersebut,” ungkap Adi, penulis buku itu.
Ketua Umum PPSN Prof Sar Sardy mengatakan, bedah buku dilakukan sekaligus untuk mengenang salah seorang pendiri PPSN Saafroedin Bahar, perwira militer pangkat terakhir Brigadir Jenderal dan concern terhadap masalah-masalah bangsa, meninggal dunia pada 6 Juli 2018, sebelum buku itu diterbitkan.
“Walau pun sudah lanjut dan meninggal pada usia 81 tahun, Pak Saaf – sapaan akrab Saafroedin Bahar – selalu bersemangat baik dalam menyampaikan ilmu, pandangan dan pengalaman terutama bagi generasi muda. Dalam hal kedaulatan nasional beliau sangat berharap bangsa ini kuat menjaga jatidiri bngsa dari segala bentuk ancaman dan tantangan kemajuan dan kekuatan global,” tutur Sar Sardy.
Dalam bedah buku yang diikuti sejumlah pakar bersama sekitar 60 peserta lainnya banyak muncul pendapat yang mengkritisi buku termasuk judul buku karena dinilai kurang tercermin dari isi yang disampaikan di buku tersebut. Judui itu dikatakan terlalu membesarkan China sementara tidak nampak nilai-nilai yang dimunculkan dari filsafat konfusianisme yang dikatakan dalam buku, mendasari kemajuan China seperti perkembangannya saat ini.
“Apa raksasa itu, lalu apakah kita harus berteman, atau apa,” kata seorang dari tiga pembahas buku buku yang berisikan sebanyak 9 bab dengan 193 halaman tersebut. Bedah buku menampilkan tiga pembahas, Feri Andori (FIB/PBM UAI, Evi Fitriani (HI, FISIP UI) dan Rene Patiradjawane (Kompas).
Dalam diskusi bedah buku itu, keberadaan pekerja dari China yang dikatakan marak di berbagai daerah di Tanah Air dan menjadi sorotan publik juga tak luput dari kritikan terhadap buku yang tidak mengupas lebih jauh mengenai masalah investasi China berikut tenaga kerja China yang membanjiri bumi pertiwi.
Namun, diakui buku yang masih dalam revisi ini akan menambah referensi tentang China apalagi bila mengingat kurang sekali buku-buku berbahasa Indonesia tentang negeri komunis ini. Dalam kontek hubungan kedua negara, penting diperhatikan perkembangan China dan membuat Indonesia tidak sejajar dengannya.
Oleh karena itu, “Kita harusnya bisa memanfaatkan kelebihan-kelebihan China ini, karena negara manapun tidak akan memberikan apapun dalam berbagai bentuk kerjasama, tetapi kita harus merebutnya. Karena itu kita pun harus pintar (memanfaatkan hubungan) kalau mereka investasi jangan hanya menguntungkan mereka tetapi justru harus lebih menguntungkan kita. Jangan mau terima saja, harus punya strategi menghadapinya,” pinta Evi Fiitriani.
Masalahnya menurut Evi, seringkali dalam perjanjian kerjasama atau perdagangan kedua negara dimanfaatkan oleh oknum pejbat terkait. “Yang terjadi kadang-kadang pejabat-pejabat kita itu punya deal-deal sendiri, itu sebetulnya yang harus dihindari,” kata dia.
China yang dikenal membawa investasi berikut pekerja menurut dia harus disikapi dengan tegas karena tergantung kita yang menerapkan berdasarkan peraturan Indonesia ketenagakerjaan Indonesia.
“Ini harus ditegaskan, jangan petugas yang malah punya deal sendiri. Jangan yang unskill labor karena kita juga banyak punya tenaga kerja ini,” kata Evi. (indradh)