JAKARTA (Suara Karya): Akses media tontonan masyarakat kini didominasi jaringan teknologi informatika (JTI) yang mencapai angka 89 persen, televisi sebesar 8 persen dan bioskop 1 persen.
Untuk itu, Lembaga Sensor Film (LSF) mengingatkan orangtua untuk ikut menanamkan Budaya Sensor Mandiri (BSM) kepada anak-anaknya. Hanya menonton tayangan sesuai dengan klasifikasi usianya.
“Orangtua kini tidak bisa lagi ketat mengawasi tontonan anaknya, karena JTI bisa ditonton dalam kamar dan memakai gadget-nya sendiri. Untuk itu, BSM bisa menjadi solusi,” kata Wakil Ketua LSF, Ervan Ismail kepada media, di Jakarta, Senin (18/12/23).
Hadir dalam kesempatan itu, Rektor Universitas Yarsi, Fasli Jalal, Wakil Rektor III UHAMKA, Nani Solihati dan Ketua Komisi III LSF, Naswardi.
Pernyataan Ervan disampaikan terkait Hasil Penelitian tentang Perfilman, Kriteria Penyensoran, dan Budaya Sensor Mandiri Tahun 2023. Penelitian itu dilakukan LSF bekerja sama dengan Universitas Muhammadiyah Prof. DR HAMKA (UHAMKA) Jakarta.
Ervan menjelaskan, penelitian tersebut dilakukan untuk mengukur sejauh mana pedoman penyensoran berkembang di masyarakat. Kriteria penyensoran meliputi kekerasan, perjudian, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya, pornografi, suku, ras, kelompok, golongan, agama, hukum, harkat dan martabat manusia dan usia penonton.
“Selain juga ingin mengetahui persepsi masyarakat tentang perfilman, budaya sensor mandiri, dan perilaku bermedia di masyarakat,” ujarnya.
Hasil penelitian, lanjut Ervan, akan menjadi tolak ukur aktivitas menonton masyarakat dalam bentuk penelitian, yang dapat dipertanggung jawabkan secara akademis. Serta menjadi dasar untuk menentukan program LSF di tahun mendatang.
Ketua Komisi III LSF, Naswardi memaparkan, penelitian dilakukan di sejumlah di bioskop di 4 kota besar, yaitu Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar.
Keempat kota itu dipilih karena jumlah penonton bioskop terbanyak dan akses tontonan melalui kanal digital lebih tinggi dibanding kota-kota lain di Indonesia.
“Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan responden sebanyak 457 orang. Mereka dibagi dalam kategori penonton klasifikasi usia semua umur, usia remaja 13 tahun keatas, usia dewasa 17 tahun keatas, dan usia 21 tahun keatas,” tuturnya.
Penelitian juga menggunakan survey dengan instrumen daftar pertanyaan dan pernyataan yang kemudian dilakukan wawancara, Focus Group Discussion (FGD), dan diskusi pakar pada saat, sebelum, dan sesudah penelitian.
“Selain penelitian, LSF tetap gencar mengkampanyekan BSM yang lebih terstruktur dengan melibatkan stakeholder lainnya. BSM sebagai program prioritas, kami dorong masyarakat agar bisa memilah dan memilih tontonan sesuai dengan klasifikasi usia,” ujarnya.
Hasil penelitian juga menunjukkan adanya perubahan perilaku masyarakat dalam mengakses media untuk hiburan di 4 Kota Besar, yaitu 79 persen responden yang mengakses media sosial.
Film yang disenangi, yaitu film nasional sebesar 45 persen, film asing 52 persen dan tidak tahu 1 persen. Genre film yang disenangi adalah film horor sebesar 34 persen, komedi 28 persen, drama 24,73 persen, musikal 3 persen dan genre lainnya 7 persen.
“Sebanyak 72 persen tahu soal penggolongan usia penonton, namun ada 25 persen yang tidak tahu soal penggolongan usia penonton,” ujarnya.
Penelitian juga menyebutkan 61 persen penonton menilai perlu ada perubahan klasifikasi usia penonton di indonesia. Khususnya pada klasifikasi usia SU dan 17+. Karena regulasi lain menyebut usia dewasa mulai dari 18 tahun.
Terkait hal itu, Naswardi mengatakan, pihaknya tetap akan merujuk pada UU Perfilman yang menyebut usia dewasa mulai dari 17 tahun. “Kami akan ikut regulasi UU Perfilman berapa pun usia yang ditetapkan,” ujarnya.
Soal pengawasan, hasil penelitian menyebutkan, 40 persen responden menyatakan pengawasan dilakukan dengan membatasi waktu, 11 persen dengan pengecekan langsung, 10 persen pembatasan akses dan 38 persen menyatakan tidak tahu.
Sementara itu, Wakil Rektor III UHAMKA, Nani Solihati mengungkapkan, film saat ini telah menjadi media hiburan dan media pendidikan yang berpengaruh besar dalam membentuk pola pikir masyarakat.
“Temuan dalam kolaborasi riset ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi dunia perfilman, sekaligus bahan literasi yang dapat dipublikasikan sebagai jurnal nasional, jurnal internasional, maupun media publikasi lainnya,” ucap Nani.
“Ketika terpublikasikan melalui jurnal, maka hasil penelitian bisa menjadi landasan untuk pengembangan industri perfilman agar berkualitas dengan menyesuaikan zaman,” katanya.
Hasil penelitian juga bisa di daftarkan ke Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), sehingga keluaran penelitian bisa menjadi ganda dan memberi manfaat luas secara berkelanjutan.
Hal senada dikemukakan Rektor Universitas YARSI, Fasli Jalal. Katanya, peran film sangat besar dalam membentuk kepribadian dan kecerdasan seseorang. Karena itu, Budaya Sensor Mandiri penting untuk membangun kesadaran masyarakat dalam menonton film dan menentukan film yang sesuai dengan usia.
“Dalam forum perguruan tinggi, kami mendukung mahasiswa menjadi penyensor mandiri untuk dirinya, keluarga dan lingkungannya,” katanya.
Ditambahkan, Budaya Sensor Mandiri dapat membawa keseimbangan untuk dunia industri dalam merencanakan produksi film agar selaras antara selera pasar dengan kebijakan yang diatur LSF. (Tri Wahyuni)