Suara Karya

Sejumlah Kalangan Tolak Penerapan Skema Power Wheeling dalam RUU EBET

JAKARTA (Suara Karya): Direktur Eksekutif Indonesian Resources Study (Iress) Marwan Batubara dan sejumlah kalangan menolak tegas Skema Power Wheeling (PW) dalam Rancangan Undang Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET).

Ada beberapa alasan yang disampaikan perihal penolakan tersebut; Pertama, Skema PW bertentangan dengan konstitusi yakni, Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan sektor strategis menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara.

“Jika skema power wheeling diterapkan, maka otomatis penguasaan negara tidak terpenuhi karena sebagian beralih kepada swasta,” kata Marwan Batubara dalam diskusi bertema: Tolak Penerapan Skema Power Wheeling Dalam RUU EBET!” di Jakarta, Selasa, (3/9/2024).

Kedua, kata Marwan, putusan MK No.36/2012 juga telah menjelaskan dan mempertegas peran penguasaan negara menguasai sektor strategis dan menyangkut hajat hidup orang banyak melalui ketentuan bahwa pengelola hajat hidup rakyat tersebut adalah BUMN/PLN, bukan swasta.

Putusan MK No. Putusan 001-021-022/PUU-I/2003 juga menyatakan bahwa kebijakan pemisahan usaha penyediaan tenaga listrik dengan sistem unbundling (dalam UU No.20/2002) mereduksi makna dikuasai negara yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945.

“Jadi, sistem unbundling yang berisi skema PW juga inkonstusional, dan harus ditolak,” ujarnya.

Ketiga, putusan MK No.111/PUU-XIII/2015 menyatakan usaha ketenagalistrikan yang dilakukan secara kompetitif dan unbundling bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.

Dijelaskan, listrik sebagai public utilities tidak bisa diserahkan ke mekanisme pasar bebas, karena para pihak mengambil keputusan berdasar pasokan dan permintaan.

“Putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003 menjelaskan dalam mekanisme pasar bebas yang diuntungkan adalah pemilik modal dan yang terjadi adalah kerugian sosial pada masyarakat. Kebijakan unbundling dengan kompetisi terbuka, termasuk skema PW, merupakan upaya privatisasi pengusahaan tenaga listrik dan telah menjadikan tenaga listrik sebagai komoditas pasar. Hal ini dapat berarti negara tidak lagi memberikan proteksi kepada mayoritas rakyat yang hidup kekurangan secara ekonomi,” katanya.

Secara sosial, lanjut Marwan, melalui kebijakan liberal ini, negara justru berlaku tidak adil dan bekerja memihak swasta. Yakni memberi kesempatan kepada para pemilik modal, atau bahkan investor asing menikmati keuntungan besar, namun pada saat yang sama menghisap rakyat untuk membayar energi listrik lebih mahal. Padahal, sesuai kosntitusi, kesempatan tersebut harus diberikan kepada BUMN, yang menurut konstitusi adalah pemegang hak monopoli.

“Skema PW memberi kesempatan swasta/IPP memangsa para pelanggan premium PLN yang umumnya butuh daya tinggi dan membayar tagihan listrik besar. Hal ini akan merugikan dan mengurangi pendapatan PLN, sehingga kemampuan cross-subsidy kepada rakyat miskin dan tertinggal berkurang, tarif listrik naik dan beban subsidi energi APBN meningkat,” ujarnya.

Marwan menilai, pemaksaan kebijakan skema PW diduga sarat moral hazard. Tindakan moral hazard ini dapat pula dilanjutkan dengan pembangunan pembangkit listrik EBET milik swasta/IPP tanpa peduli kondisi over supply listrik, atau menyuntik mati PLTU-PLTU yang sebenarnya masih layak operasi dan layak ekonomi. Maka, beban biaya operasi PLN akan naik signifikan, dan berujung pada naiknya tarif listrik rakyat dan beban subsidi listrik APBN meningkat.

“Sebagai presiden mendatang, kita berharap Prabowo mau dan mampu mengakhiri agenda oligarki yang merugikan ini. Khusus tentang skema PW, di samping melanggar konstitusi dan berbagai peraturan yang berlaku, penerapan skema ini juga akan merugikan keuangan negara dan BUMN, serta akan menambah beban biaya hidup rakyat,” katanya.

Pada kesempatan yang sama, Dosen Program S2 Energi Terbarukan Universitas Darma Persada, Riki Firmandha Ibrahim juga mengkritik keras skema power wheeling (PW) yang diusulkan masuk dalam RUU EBET. Karena, penerapan skema power wheeling dapat menimbulkan sejumlah masalah serius, di antaranya, membuka peluang bagi swasta untuk memanfaatkan jaringan PLN dapat meningkatkan disparitas harga listrik, yang berpotensi merugikan pendapatan negara.

“Masalah Teknis dan Infrastruktur: PW akan menambah beban pada sistem jaringan PLN, termasuk batasan kapasitas, gangguan teknis, dan masalah perhitungan biaya. Ini akan meningkatkan kerusakan pada sistem distribusi dan memperbesar beban operasional PLN,” katanya.

“PW dapat memicu perdagangan listrik di wilayah yang seharusnya dikelola PLN, merugikan PLN yang harus memprioritaskan konsumennya sendiri dan berpotensi mengurangi pendapatan negara melalui penurunan kontribusi PLN. Pasar bebas yang diusulkan dalam RUU EBET tidak sesuai dengan regulasi nasional, yang melarang penjualan listrik oleh pihak di luar pemegang wilayah usaha,” ujarnya.

Riki menyarankan agar fokus reformasi dilakukan pada pemberian insentif fiskal untuk energi terbarukan dan pengenalan kebijakan pajak karbon, bukan pada skema PW yang berpotensi merugikan negara dan masyarakat.

Dalam pandangannya, PW bertentangan dengan prinsip konstitusi Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan penguasaan negara atas sektor energi.

Riki menegaskan pentingnya memastikan kebijakan energi yang mendukung penguasaan negara dan memberikan manfaat bagi rakyat, bukan sebaliknya.

Diketahui, Kementerian ESDM menargetkan RUU ini disahkan sebelum masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) berakhir. Namun, ada indikasi kuat bahwa agenda skema power wheeling (PW) yang kontroversial sedang didorong untuk dimasukkan ke dalam UU ini.

Sekadar informasu, Power Wheeling adalah sistem yang memungkinkan penyedia energi swasta menjual listrik menggunakan jaringan transmisi milik negara. (Boy)

Related posts