JAKARTA (Suara Karya): Pandemi wabah covid-19 telah memicu dampak negatif bagi semua sektor, termasuk sektor kelautan dan perikanan. Namun demikian, ekonomi kelautan dan perikanan harus bangkit menatap ke depan menuju era baru. Menyikapi hal tersebut FK2PT menggelar serial webinar Temu FK2PT untuk mengurai permasalahan, tantangan dan peluang bagi kebangkitan dunia usaha dan industri perikanan dan kelautan nasional dengan tema utama “Era Adaptasi Norma Baru Dunia Usaha dan Industri Perikanan dan Keluatan: Peluang, Tantangan dan Arah ke Depan“.
Webinar Temu FK2PT kali ini merupakan webinar Serial 2 yang mengangkat tema “Era Adaptasi Norma Baru untuk Pelaku Usaha Perikanan di Indonesia Timur”. Perikanan di Indonesia Timur memegang peran penting bagi perikanan Indonesia, dengan sekitar 60% sumberdaya ikan ada di perairan Indonesia Timur. Selain itu, perikanan skala kecil mendominasi usaha perikanan di wilayah ini, dimana koperasi telah memberikan peran penting bagi pemberdayaan perikanan skala kecil. Untuk itu, wilayah Indonesia Timur memiliki posisi strategis untuk pengembangan perikanan skala kecil, dengan penguatan sosial ekonomi menjadi fokus penting. Hal-hal tersebut menjadi bahasan utama para narasumber pada Temu FK2PT Serial 2 ini.
Ketua FK2PT Agus Suherman, dalam sambutannya mengungkapkan Wilayah pengelolaan Perikanan (WPP) khususnya 714 Laut Banda sampai 718 Samudera Pasifik telah dikenal sebagai lumbung tuna khususnya cakalang dan tuna sirip kuning (yellowfin). Bahkan, kurun waktu 1968-1978 bangsa kita bersama Jepang menyepakati Banda Sea Agreement I-III sebagai bentuk kerjasama atas kapal-kapal Jepang yang melakukan operasi penangkapan di sekitar Laut Banda.
Perikanan skala kecil khususnya di wilayah timur juga sangat didukung adanya keberadaan koperasi perikanan sebagai wujud dari ekonomi yang berpihak kepada masyarakat.
“Dulu di Selat Lembeh Bitung kita mengenal bagi hasil antara nelayan bagan penangkap ikan teri untuk umpan hidup kapal Skipjack Pole line (SPL), dimana nelayan bagan menerima 20% dari harga jual hasil tangkapan kapal SPL. Koperasi perikanan Indonesia juga pernah berjaya di era 1980-1990 an,” kata Agus Jumat (17/7/2020).
Agus berharap, temu FK2PT pada serial 2 diharapkan mampu kembali membangkitkan ekonomi kerakyatan, dimana 43% kontribusi PDB tahun 2017 ditopang oleh usaha mikro dan kecil, termasuk dari sektor perikanan. Oleh karena itu, perikanan tradisional (artisanal) perlu mendapatkan perhatian dan upaya pemberdayaan, jangan sampai jumlah kapal perikanan artisanal kita semakin hari semakin menurun jumlahnya.
Namun disisi lain, Agus mengutarakan terdapat salah satu kelemahan daya saing dari produk perikanan Indonesia dari wilayah timur, yaitu masalah biaya logistik yang masih tinggi.
“Upaya-upaya sinergitas BUMN dan koperasi perikanan perlu dicarikan solusi. Bisa jadi, pemerintah dapat menugaskan, misalnya BUMN Cluster Pangan seperti Perum Perindo, PT Perikanan Nusantara, PT BGR Logistik (Bhanda Ghara Reksa) membuka simpul-simpul jalur distribusi produk perikanan melalui tol laut perikanan”, usul Agus.
Sementara, penyediaan reefer container (kontainer berpendingin) dan harga logistik yang kompetitif akan memberikan keuntungan bagi nelayan. Dengan asumsi minimal 3000 refer container setahun dari wilayah timur ke Jakarta dan Surabaya, dengan kapasitas 18 ton/ per kontainer dan tingkat efisiensi 1000/kg saja maka akan ada Rp 54 milyar/setahun yang dapat dinikmati oleh koperasi maupun nelayan melalui harga jual yang lebih baik. Apalagi, kalau pemerintah menyediakan kapal pengangkut khusus produk perikanan, akan semakin baik harga yang diterima para nelayan.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan, Sulkaf S. Latief dalam paparannya mengharapkan agar dilakukan akselerasi dalam pelaksanaan kebijakan perikanan tangkap melalui percepatan perijinan, pemangkasan birokrasi, transformasi ekonomi dan mengatasi tumpang tindih antar sektor. Upaya ini disertai dengan peningkatan pengawasan, penggunaan teknologi untuk pengawasan dan peningkatan peran observer.
Sementara itu, Ketua Koperasi Nelayan Santo Alvin Pratama Kota Ternate Maluku Utara, mengutarakan pandemi covid-19 telah memberikan dampak dan permasalahan yang cukup berarti bagi koperasi ini. Berkurangnya permintaan pasar telah menyebabkan stok ikan di cold storage meningkat, sementara itu terjadi peningkatan biaya produksi akibat terhambatnya suplai BBM dan bahan makanan ke kapal termasuk biaya listrik. Peningkatan biaya juga terjadi pada biaya jasa logistik cargo untuk pemasaran ikan. Hermanto menyatakan bahwa, usaha optimis dapat kembali bangkit melalui peran pemerintah untuk dapat menekan biaya produksi dan membuka kembali peluang pasar, diantaranya melalui penurunan biaya perijinan, percepatan resi gudang, penambahan sarana cold storage dan ABF, penurunan biaya listrik, penurunan biaya cargo dan pembukaan jalur transportasi.
Nelayan skala kecil mendominasi pelaku utama perikanan Indonesia, yaitu sekitar 96%. Nelayan skala kecil memiliki karakteristik umum yaitu melakukan penangkapan ikan di sekitar pantai, tidak memiliki kemampuan mengelola keuangan, banyak yang tidak memahami keberlanjutan sumberdaya dan rawan konflik. Tarlan Subarno program Coordinator Rare, Provinsi Sulawesi Tenggara memaparkan pembelajaran dari program Pengelolaan Akses Area Perikanan (PAAP), khususnya dalam meningkatkan kemampuan nelayan skala kecil dalam pengelolaan bisnis dan keberlanjutan sumberdaya. Program ini memiliki relevansi tinggi untuk menjadikan nelayan skala kecil lebih tangguh ketika menghadapi masa sulit, tidak terkecuali masa sulit seperti kondisi masa pandemi saat ini.
Pada kesempatan yang sama, Dekan Universitas Halu Oleo Kendari, Prof La Sara mengutarakan bahwa Sulawesi Tenggara memiliki posisi strategis bagi pengembangan perikanan skala kecil di Indonesia Timur. Dirinya menawarkan pendekatan sistem dinamis dan model klasterisasi untuk mewujudkan kekuatan ekonomi dan sosial sektor perikanan daerah.
La Sara juga menyatakan bahwa, peluang ekonomi pasca covid-19 terbuka lebar bagi kebangkitan perikanan skala kecil, dengan adanya prediksi terjadi peningkatan permintaan akan produk perikanan yang signifikan, mengingat bahwa sektor terkait seperti pasar lokal, pariwisata, perhotelan, restoran, maupun permintaan internasional kembali meningkat (bounce back).
“kontribusi Ekonomi yang di peroleh oleh nelayan dengan ukuran kapal kurang dari 10 GT untuk total kapal 40 ribu dengan waktu operasi 8 bulan/tahun, asumsi harga ikan Rp. 30.000. Maka penerimaannya mencapai 14.4 T itu untuk Sulawesi Tengah saja” pungkasnya. (Pramuji)