JAKARTA (Suara Karya): Gabungan Produsen Makanan dan Minuman (GAPMMI) menyayangkan, proses penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) No 28 Tahun 2024 tak mengedepankan kolaborasi dan harmonisasi, baik
antar Kementerian dan Lembaga, maupun dengan para pemangku kepentingan.
‘GAPMMI tidak pernah dilibatkan dalam proses penerbitan PP No 28 Tahun 2024, padahal industri makanan minuman pangan olahan kemasan adalah pelaku utamanya,” kata Ketua Umum GAPMMI, Adhi Lukman, di Jakarta, Kamis (29/8/24).
Untuk itu, GAPMMI meminta kepada Pemerintah untuk melakukan kajian dampak dan risiko yang timbul secara menyeluruh atas diterbitkan PP No 28 Tahun 2024 tersebut.
“Kajian tersebut harus didukung data ilmiah yang komprehensif,” ucap Adhi menegaskan.
Seperti diberitakan sebelumnya, Pemerintah pada akhir Juli 2024 lalu menerbitkan PP No 28 Tahun 2024 sebagai Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Salah satu tujuan diterbitkannya PP No 28 Tahun 2024 adalah mengurangi angka Penyakit Tidak Menular (PTM) di masyarakat. “Kami dukung upaya Pemerintah dalam mengurangi angka PTM di masyarakat. Tetapi, kondisi itu terjadi karena banyak faktor. Tak semata kesalahan industri pangan olahan,” ujarnya.
Dijelaskan, tingginya angka PTM di masyarakat dipengaruhi banyak faktor yang meliputi gaya hidup, kurangnya aktivitas fisik, kurangnya asupan cairan ke dalam tubuh, pengelolaan stres serta pola konsumsi makanan dan minuman sehari-hari yang tidak seimbang.
“Kondisi gangguan kesehatan tidak berasal dari kekurangan atau kelebihan mengonsumsi jenis pangan tertentu sehingga bukan hanya berasal dari konsumsi pangan olahan saja,” tuturnya.
Karena itu, menentukan batas maksimal gula, garam, lemak dalam produk pangan olahan saja, tentu tidak akan efektif menurunkan angka penyakit tidak menular. Mengingat konsumsi gula, garam, lemak masyarakat, hanya sebagian kecil yang dikontribusikan oleh produk pangan olahan.
Pembatasan kandungan gula, garam dan lemak tentu akan mempengaruhi fungsi teknologi dan formulasi pangan. Hampir tidak ada produk pangan yang tidak memiliki kandungan gula, garam dan lemak kecuali air mineral.
Untuk itu, Adhi menilai, GAPMMI perlu dilibatkan Pemerintah untuk meluruskan informasi seputar gula, garam dan lemak (GGL) melalui edukasi konsumsi pangan yang baik dan seimbang kepada masyarakat.
“Kami dapat informasi, beberapa peraturan turunan PP Nomor 28 tahun 2024, termasuk pengaturan pelabelan pangan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) akan ‘dikebut’ sebelum pertengahan September 2024. Meski standarnya masih belum harmoni dengan industri dan dinilai ‘melompat’ dari tahapan sebuah roadmap yang penting seperti edukasi,” ungkapnya.
GAPMMI berharap, Pemerintah mau menunda peraturan turunan tersebut dan membuat roadmap, dan pilot project bersama stakeholder terkait, termasuk pakar teknologi pangan dan gizi di Indonesia.
“Mengingat peraturan krusial yang menentukan arah bangsa ke depannya perlu memprioritaskan kepentingan Nasional di atas segala-galanya,” ucap Adhi menegaskan.
Ditambahkan, kedaulatan negara hendaknya menjadi tujuan yang utama, tak semata kepentingan beberapa gelintir kelompok yang menjadi pertimbangan, namun berpotensi melemahkan daya saing bangsa.
“Hilangnya kesempatan berusaha bahkan menutup mata pencaharian, terlalu mahal harga yang harus dibayar oleh negara dari keluarnya PP ini,” kata Adhi menandaskan. (Tri Wahyuni)