Suara Karya

Mengupas Program Bantuan KKP

Kapal perikanan,  alat penangkapan ikan  (jaring), pelabuhan perikanan, dan nelayan merupakan komponen yang tidak terpisahkan dari sektor perikanan  tangkap. Namun demikian, permasalahan di komponen-komponen tersebut selalu saja terjadi dan belum bisa terselesaiakan dengan baik hingga saat ini.

Permasalahan yang hangat dan masih terjadi di tingkat nelayan adalah penggantian alat tangkap ramah lingkungan yang diberikan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Bahkan polemik alat tangkap ini juga menjadi isu nasional yang terus menjadi perbincangan akademisi dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Namun, lagi-lagi dengan alih-alih untuk keberlanjutan sektor perikanan nasional, KKP tetap menyatakan alat tangkap cantrang dan sejenisnya yang selama ini digunakan nelayan harus diganti, dan pemerintah memberikan penggantian alat tersebut secara gratis.

Polemik perikanan rupanya tidak cukup pada alat tangkap saja. Bantuan kapal nelayan juga menjadi isu yang tidak kalah hangat, bahkan bantuan ribuan kapal yang terus berlanjut ini sempat dibawa ke ranah hukum oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat, karena dalam laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pengadaan kapal oleh KKP dinyatakan Disclaimer untuk tahun anggaran 2016.

Untuk mengupas hal tersebut, berikut wawancara Wartawan Suara Karya Bayu Legianto dengen Direktur Jenderal Pelikanen Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) M Zulficar Mochtar, di Jakarta Selasa (29/5).

1. Sebagai pimpinan baru di Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) KKP apa target yang ingin Anda capai, khususnya pada 2018 ini?

Pertama, memastikan agar tata kelola perikanan dapat dilakukan secara konsisten sesuai dengan tiga pilar strategis yang telah dicanangkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan yaitu: kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan.

Kedua, mendorong terwujudnya keadilan dalam pemanfaatan sumber daya perikanan. Yaitu, agar sumber daya perikanan dapat diakses dan dimanfaatkan oleh segenap nelayan Indonesia secara merata. Jadi, bukan dimonopoli dan didominasi segelintir pihak atau oleh pengusaha skala besar seperti yang selama ini masih terjadi.

Saat ini, kesenjangan masih sangat besar, sehingga perlu affirmative policy dan programs yang memberikan ruang bagi nelayan-nelayan Indonesia yang selama kurang mendapatkan perhatian.

Selanjutnya, mendorong agar berbagai program yang dikembangkan di Ditjen Perikanan Tangkap lebih fokus, lebih efisien pengelolaannya serta lebih tepat sasaran, sehingga memberi manfaat dan dampak yang lebih signifikan.

Dirjen Perikanan Tangkap, KKP Zulficar Mochtar. (Foto: Istimewa)

2. Berkaitan dengan program KKP, sampai saat ini program alat tangkap raam lingkungan pengganti cantrang. Bahkan ada nelayan yang terus menolak bantuan-bantuan tersebut, sebenarnya seperti apa dan kenapa KKP terus ngotot memberikan bantuan tersebut?

Kebijakan pelarangan alat penangkapan ikan (API) tidak ramah lingkungan bukanlah merupakan kebijakan yang tiba-tiba ada pada masa Ibu Menteri Susi Pudjiastuti, namun telah melalui proses yang panjang sejak tahun 1980 hingga saat ini.

Pelarangan memiliki tujuan yang sangat mulia agar sumber daya ikan yang tentu saja terbatas, dapat terjaga kelestariannya yang pada akhirnya berdampak pada keberlanjutan usaha dan kesejahteraan nelayan.

Pelarangan API tidak ramah lingkungan didasarkan pada pertimbangan dampak dari pengoperasian API tersebut, baik dari sisi bio-ekologi, sosial, dan ekonomi.

Dari aspek biologi, hasil kajian terhadap selektivitas hasil tangkapan API Cantrang menunjukkan: (a) Bersifat tidak selektif dengan komposisi jenis dan ukuran ikan yang sangat beragam, (b) Banyaknya hasil tangkapan ikan yang belum layak tangkap, (c) Banyaknya hasil tangkapan sampingan (> 50 persen).

Dari aspek ekologi, fakta di lapangan mengindikasikan pengoperasian cantrang secara hela, yaitu penarikan jaring ke atas kapal dilakukan dalam kondisi kapal berjalan sehingga “menyapu” dasar perairan. Kondisi tersebut mengakibatkan terganggunya ekosistem dasar perairan dan rusaknya sistem mata rantai makanan.

Sejalan dengan perkembangan pesat jumlah armada dan ukuran cantrang, laju eksploitasi sumber daya ikan (SDI) menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan laju regenerasi/rekruitmen.

Dari aspek sosial, perkembangan tidak terkendali dari penggunaan cantrang baik dari sisi jumlah maupun ukuran armada seringkali memunculkan konflik sosial antar nelayan meliputi: tumpang tindih daerah penangkapan ikan, kecemburuan nelayan kecil, dan persaingan usaha yang tidak sehat.

Sementara secara ekonomi, dominasi hasil tangkapan sampingan dengan kualitas ikan dan nilai jual rendah. Valuasi ekonomi sumberdaya ikan demersal (sebagai hasil tangkapan utama API Cantrang) menunjukkan nilai Non-Use Value (Nilai Bukan Manfaat) terhadap hasil tangkapan sampingan cukup besar karena didukung oleh pabrik pengolahan ikan rucah (surimi), sehingga  terjadi pergeseran  tujuan hasil tangkapan utama API Cantrang, yang cukup merugikan secara prinsip ekonomi berkelanjutan.

Berbagai kasus pelanggaran perizinan, markdown ribuan kapal, dan berbagai hal lainnya juga menyebabkan kerugian negara yang amat besar.

Proses pendekatan/sosialiasi terhadap unsur unsur yang terdampak juga telah kita lakukan untuk menjelaskan urgensi pengaturan API ini (Proses sosialisasi dapat kita lihat seperti gambaran di bawah ini).

Sosialisasi ini diharapkan dapat memberikan pemahaman akan dampak negatif pengoperasioan API yang dilarang. Pengaturan API diharapkan dapat melindungi sumber daya ikan yang merupakan tumpuan kesejahteraan nelayan itu sendiri.

Sepanjang tahun 2017 hingga awal 2018 juga terus dilakukan sosialisasi dan kunjungan kerja agar masyarakat nelayan semakin memahami dampak dari API yang dilarang. Kita bahkan dibantu oleh HNSI, mendapat dukungan penuh DPR, dan lain-lain. Dan saya kira hasilnya sudah nyata, semakin tumbuh kesadaran untuk menggunakan API ramah lingkungan. Kita fasilitasi pula nelayan-nelayan eks pengguna cantrang untuk berpindah daerah penangkapan ikan ke wilayah yang masih banyak sumber daya ikannya seperti Merauke, Dobo, dll, dan mereka sukses di tempat baru tersebut.

3. Bagaimana Anda mengatasi permasalahan yang terjadi di lapangan, seringa program penggantian API bisa diimplementasikan dengan baik?

Guna mengatasi masalah API dilarang, pemerintah secara inensif melaksanakan tiga skema penyelesaian yaitu: (1) Penggantian API untuk Nelayan yang memiliki kapal dengan ukuran < 10 GT Kumulatif, (2) Bantuan Akses Permodalan bagi Nelayan yang memiliki kapal dengan ukuran 10 – 30 GT, (3) Bantuan Percepatan Proses Perizinan bagi Nelayan yang memiliki kapal dengan ukuran > 30 GT dan alokasi penangkapan ikan di WPP yang masih potensi seperti di Laut Arafura dan Natuna.

Skema pertama pengalihan API yang dilarang telah dilakukan sejak tahun 2015 s.d. 2017 dengan total bantuan API yang telah didistribusikan sebanyak 9.021 paket.

Skema kedua, kita telah melibatkan perbankan dan Badan Layanan Umum (BLU) Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (LPMUKP) untuk memberikan akses permodalan ke banyak nelayan khususnya Pantura Jawa. Tercatat akses permodalan bagi nelayan yang memiliki kapal dengan ukuran 10 – 30 GT sebanyak Rp 190,86 M untuk 184 orang pemilik.

Skema ketiga percepatan proses perizinan bagi nelayan yang memiliki kapal dengan ukuran > 30 GT dan alokasi penangkapan ikan di WPP yang masih potensi seperti di Laut Arafura sampai April 2018 sebanyak 2.999 unit kapal (SIPI).

Dirjen Perikanan Tangkap, KKP Zulficar Mochtar. (Foto: Istimewa)

4. Selain itu, KKP juga terus menggulirkan bantuan kapat nelayan. Dalihnya untuk meningkatkan pendapatan nelayan. Namun tidak semua nelayan menerima bantuan kapal yang diberikan kkp dan berdampak pada mangkraknya kapal yang telah dibuat. Bagaimana Anda mengatasi permasalahan ini. Untuk 2018, targetnya berapa bantuan kapal lagi yang akan disalurkan dan daerahnya di mana saja?

Bantuan kapal perikanan bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya ikan secara berkelanjutan, stimulan untuk meningkatkan kapasitas usaha nelayan, meningkatkan jumlah kapal perikanan yang berkualitas dan bersertifikat, meningkatkan produktivitas usaha penangkapan ikan, dan pada akhirnya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan. Hal tersebut merupakan penjabaran dari misi keberlanjutan dan kesejahteraan.

Program ini mendapatkan antusiasme tinggi dari nelayan. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya usulan dari nelayan untuk mendapatkan bantuan kapal perikanan.

Belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, pemberian bantuan kapal ini harus disiapkan secara matang dari perencanaan, kesiapan SDM sampai dengan operasionalnya.

Saat perencanaan kami akan libatkan calon penerima untuk merencanakan desain kapal (sesuai dengan kebutuhan) dan kami juga sudah menyediakan prototype untuk dilakukan ujicoba untuk menghindari penolakan pada saat kapal tersebut selesai dibangun.

Upaya lain yaitu kapal selesai dibangun dilengkapi dengan dokumen kapal beserta perizinannya sehingga langsung bisa dimanfaatkan. Kemudian untuk meningkatkan kapasitas nelayan penerima dilakukan pelatihan (training) bidang permesinan, perawatan kapal, pengoperasian kapal beserta alat tangkap agar nelayan tidak terkendala dalam pengoperasian kapal.

Di samping itu kami juga menggandeng BUMN perikanan dan Badan Layanan Umum BLU-LPUMKP untuk bekerjasama mengatasi permasalahan permodalan dan pembelian hasil tangkapan dengan harga yang sesuai, sehingga tujuan dari pemberian bantuan kapal tersebut benar-benar telah sesuai dan dimanfaatkan.

Pemerintah dalam menggulirkan bantuan khususnya kapal perikanan sangat jelas harus sangat mempertimbangkan kearifan lokal dari masyarakat setempat dan sesuai dengan model kapal yang biasa dipakai dengan diberikan tambahan dari sisi keselamatan pelayaran dan teknologi untuk operasional penangkapan ikan. Hal ini menjadi perhatian.

Adapun untuk menyelesaikan kapal-kapal bantuan yang terindikasi mangrak umumnya terkait terkait permasalahan seperti izin yang sudah expired (belum diperpanjang), kurangnya modal operasional dan perbaikan kapal serta mekanisme pasar untuk menyerap hasil tangkapan yang dihasilkan.

Solusi yang kami berikan adalah adanya percepatan dan kemudahan perizinan kapal bantuan di daerah, memfasilitasi dengan perbankan dan badan layanan umum KKP dalam hal permodalan dan perbaikan kapal serta menggandeng koperasi dan Perum Perindo dan Perinus (BUMN) untuk membeli hasil tangkapan dari nelayan.

Tahun 2018 target pengadaan kapal perikanan sebanyak 508 unit kapal, untuk kami berikan kepada nelayan-nelayan kecil yang tergabung dalam koperasi di seluruh Indonesia.

5. Beralih ke pelabuhan. Pelabuhan perikanan sangat penting untuk nelayan. Banyak daerah di Indonesia yang belum memiliki pelabuhan perikanan, bahkan banyak pelabuhan yang kapasitas tambat labuhnya sudah berlebih. Bagaimana bapak mengatasi hal ini, dan 2018 ini berapa pelabuhan dan dermaga perikanan yang dibangun?

Pada tahun 2018 akan dibangun dermaga di Pelabuhan Perikanan Merauke dan Rehabilitasi Pelabuhan perikanan khususnya dalam penyediaan fasilitas fungsional berupa Tempat Pemasaran Ikan (TPI) Higienis di pelabuhan-pelabuhan strategis.

Terkait penyebaran pelabuhan perikanan telah dilaksanakan berdasarkan kajian sumberdaya ikan, teknis dan operasional dan dituangkan dalam bentuk Rencana Induk Pelabuhan Perikanan Nasional sebagaimana Keputusan Menteri KP Nomor PER. 6/KEPMEN.KP/2018 tentang Rencana Induk Pelabuhan Perikanan Nasional yang meliputi sebanyak 538 pelabuhan tersebar diseluruh wilayah Indonesia.

Terkait kapasitas tambat labuh yang sudah berlebih di beberapa pelabuhan, selain akan direncanakan untuk dikembangkan, juga akan dikembangkan model konektivitas pelabuhan perikanan, dimana satu pelabuhan akan berperan sebagai inti (hub) dan didukung oleh beberapa pelabuhan disekitarnya yang berperan sebagai penyangga (sub hub atau feeder).

Dalam hal ini jika satu pelabuhan telah berlebih kapasitas tambat labuhnya maka dapat dilakukan pemindahan tempat bagi kapl-kapal ke pelabuhan perikanan yang kapasitasnya masih memungkinkan untuk melakukan kegiatan tambat labuh, pelayanan dan sebagainya.

6. Untuk mengejar  target yang diingikan KKP di sektor perikanan tangkap, tentunya bukan hal yang mudah, dibutuhkan SDM yang tangguh dan mumpuni untuk mengerjakan program-program tersebut. Mulai dari kapal, pelabuhan, Kesejahteraan nelayan dan sebagainya.
Apa yang Anda lakukan terhadap SDM yang ada, agar mereka bisa bekerja sesuai target bahkan lebih?

Pertama, menempatkan orang yang tepat sesuai bidangnya untuk memastikan agar laku gerak KKP sejalan dengan tuntutan, bisa berinovasi dan adaptasi secara dinamis.

Bekerjasama dengan lingkup Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDMKP) yang membekali SDM aparatur dengan pelatihan atau melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.

Untuk ASN yang baru masuk, kita pun telah melalui saringan yang sangat ketat dan sebelum bekerja diberikan terlebih dahulu pendidikan dan latihan secara sistemik sehingga langsung bisa siap bekerja dengan produktivitas tinggi.

Dan yang terakhir, tentu mengkonsolidasikan secara internal DJPT sehingga solid bekerja bersama-sama, memiliki integritas tinggi, saling bahu-membahu, secara egaliter dan transparan. ***

Related posts