JAKARTA (Suara Karya): Potensi hasil hutan kayu dan non-kayu dari hutan Indonesia sangatlah besar, mulai dari komoditas ekspor unggulan hingga produk bernilai tinggi bagi masyarakat adat. Namun, potensi itu hanya dapat dimanfaatkan secara optimal jika hutan dikelola secara lestari.
“Di era industri 4.0, integrasi penginderaan jauh dengan kecerdasan buatan (AI), ‘machine Learning’, dan ‘cloud computing’ menjadi kunci,” kata Prof Dr Rokhmatuloh dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Bidang Geografi, Fakultas MIPA, Universitas Indonesia (UI), di kampus UI, Rabu (25/6/25).
Lulusan Program Pascasarjana Chiba University, Jepang itu merupakan guru besar ke-33 yang dikukuhkan pada 2025.
Hadir dalam acara tersebut, Kepala Badan Informasi Geospasial Prof Dr Muh Aris Marfai; Wakil Dekan Bidang Pendidikan, Pengajaran dan Kemahasiswaan, Fakultas Geografi, UGM, Dr Sigit Heru Murti; Direktur SDM Badan Informasi Geospasial Dr Sumaryono; Direktur Utama Golden Energy Mines (Sinarmas Group) Dr Hartana; dan Dosen Tetap UNHAN, Dr dr Sutan Finekri Arifin A, SpOG.
Prof Rokhmatulloh menjelaskan, kemajuan teknologi itu memungkinkan analisis data yang cepat, otomatis, dan akurat. Perlunya penggunaan drone untuk akuisisi citra resolusi tinggi secara fleksibel dan hemat biaya.
“Penginderaan jauh menjadi fondasi penting dalam pengelolaan kehutanan modern, mendukung pengambilan kebijakan berbasis data dan meningkatkan transparansi pengelolaan sumber daya alam,” ujarnya.
Menurut Prof Rokhmatulloh, pemanfaatan big data dan AI telah merevolusi analisis data penginderaan jauh di bidang kehutanan. Volume data yang besar dan kompleks dari satelit optik, radar, drone, dan LiDAR, dapat diolah secara efisien dengan sistem komputasi canggih.
Keunggulan AI dalam analisis otomatis meningkatkan akurasi pemetaan dan pemantauan hutan secara real-time. Platform cloud computing seperti Google Earth Engine (GEE), yang menyediakan akses ke ribuan petabyte data satelit, memungkinkan analisis lintas waktu dan wilayah secara efisien, mendukung komunitas ilmiah dan pembuat kebijakan.
“kombinasi big data dan Machine Learning tak hanya mempercepat pemrosesan data, tetapi juga memungkinkan pemodelan prediktif. Ini sangat mendukung perencanaan kehutanan berbasis proyeksi, seperti estimasi stok karbon, pertumbuhan pohon, dan habitat satwa,” ujarnya.
Penerapan Deep Learning (DL) pada pengolahan data penginderaan jauh di bidang kehutanan, terutama dengan algoritma Convolutional Neural Network (CNN), mampu melakukan klasifikasi tutupan lahan, deteksi perubahan hutan, dan pemetaan spesies vegetasi dengan akurasi tinggi.
Ia juga menyoroti aplikasi DL yang lebih jauh, termasuk deteksi deforestasi otomatis menggunakan data time-series dan pemanfaatan U-Net untuk memetakan batas-batas hutan dan mengidentifikasi regenerasi vegetasi pasca-kebakaran.
Platform seperti GEE semakin memudahkan integrasi big data penginderaan jauh dengan model DL, memungkinkan analisis skala besar untuk mendukung konservasi dan pengelolaan hutan berkelanjutan di Indonesia.
“Manfaat penginderaan jauh dalam kehutanan Indonesia tak hanya sebagai alat pemantauan dan pelaporan, tetapi juga instrumen penting dalam penegakan hukum, perencanaan kehutanan, dan mitigasi perubahan iklim,” katanya.
Pemanfaatan big data dan DL telah membuka paradigma baru dalam manajemen hutan berkelanjutan, menyediakan sistem analitik yang cepat, adaptif, dan presisi tinggi.
“Ini mendukung pengambilan kebijakan yang real-time dan prediktif, yang sangat penting untuk upaya manajemen hutan berkelanjutan di Indonesia,” ucapnya.
Prof Rokhmatuloh optimistis dengan tren positif dalam pemulihan hutan berkat kebijakan, seperti perhutanan sosial dan program Deforestation and forest Degradation (REDD+), yang menunjukkan komitmen pemerintah dan masyarakat. (Tri Wahyuni)