JAKARTA (Suarakarya): Pemenang dalam Pilpres 2019 akan ditentukan oleh sejauhmana pasangan capres-cawapres mampu merebut simpati kalangan pemilih “galau” atau “bimbang.” Mereka adalah kalangan generasi muda, kelas menengah, kaum urban dan kalangan berpendidikan cukup baik. Jika diidentifikasikan dalam satu kategori, mereka disebut kelompok homodigitalis, yakni generasi milenial dewasa yang hidupnya sangat tergantung pada media digital.
Demikian mengemuka dalam diskusi publik Syndicate Update bertema “Perang wacana kampanye pilpres, antara kedangkalan versus kedalaman visi” yang digelar PARA Syndicate, di Jakarta, Jumat (9/11/2018). Dalam acara itu, tampil sebagai pembicara Wakil Redaktur Pelaksana Harian Kompas Tri Agung Kristanto, Pemimpin Redaksi Harian Republika Irfan Junaidi dan Direktur Eksekutif Indonesia New Media Watch Agus Sudibyo.
Menurut Agus Sudibyo potensi suara pemilih galau atau pemilih bimbang sangat signifikan, yakni sebesar 80 Juta. “Sehingga, kemenangan pasangan capres-cawapres dalam Pilpres 2019 akan sangat ditentukan oleh pemilih galau atau pemilih bimbang ini,” ujarnya, dalam diskusi yang dipandu Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo.
“Untuk meraih suara dari kelompok ini, visi, misi dan program capres-cawapres harus masuk akal dan menyentuh problematika para milenial, serta dikemas dengan media dan cara yang menarik, simpatik dan sesuai dengan kosmologi berfikir kaum milenial,” kata Agus. Dalam konteks ini, perumusan visi dan misi harus kuat, cerdas, dan simple.
Visi, misi dan program sangat penting. Perumusan yang baik, akan berkontribusi signifikan dalam keberhasilan menang dalam Pilpres 2019 karena kelompok homodigitalis ini memiliki tingkat rasionalitas yang tinggi dalam menentukan pilihan, dan relatif tidak mudah terpengaruh hoax.
Sementara Tri Agus Kristanto mengemukakan, hasil jajak pendapat di suratkabarnya yang dipublikasikan 15 Oktober 2018 menunjukkan bahwa hanya sedikit responden yang memahami tentang visi, misi, dan program pasangan capres-cawapres.
“Hanya 15,8 persen yang tahu visi, misi dan program dari pasangan capres-cawapres Jokowi-Ma’ruf Amin, dan hanya 11,6 persen yang tahu visi, misi, dan program pasangan capres-cawapres Prabowo-Sandiaga Uno,” katanya.
Dengan demikian, menurut Tri Agung, dalam kurun kampanye ini sesungguhnya pertarungan “udara” relatif nyaris tidal ada artinya apa-apa, ketika kemudian harus berhadapan nyata dengan pertarungan “darat.” Sebab, para pemilik suara itu di darat bukan di udara.
“Nah, massa pemilih di darat ini hanya bisa diyakinkan dengan dialog, persuasi dan komunikasi,” tuturnya.
Karena itu, yang justru harus dilakukan adalah meningkatkan intensitas kampanye dialogis atau komunikasi langsung intensif, baik secara terbuka maupun tertutup atau terbatas. “Sampai hari ini upaya-upaya seperti itu belum tampak optimal dilakukan oleh kedua pasangan capres-cawapres,” katanya menambahkan.
Irfan Junaidi melihat bahwa pemilu serentak mendatang terdapat aspek positif dan negatif. Hal yang positif adalah anggaran, waktu pelaksanaan dan sistem menjadi lebih efisien. Sedangkan negatifnya, konsentrasi partai-partai politik menjadi tidak fokus. Karena di satu sisi, parpol punya kepentingan untuk menggolkan kandidatnya di Pilpres, tetapi di sisi lain juga harus bekerja untuk memenangkan caleg-calegnya.
“Dengan konsentrasi yang terpecah seperti itu, maka sulit diharapkan mereka akan berfikir tentang kedalaman konten berdemokrasi,” kata Irfan.
Akhirnya, partai-partai itu terperosok dalam kesibukan untuk mengkonter tuduhan-tuduhan yang berbicara pada level citra. Karena itu penting untuk menggiring suara guna mendapatkan sebanyak-banyaknya kursi legislatif partainya.
“Nggak ada cerita konsentrasi untuk menggodok programnya dengan baik yang bisa ditawarkan kepada masyarakat pemilih,” kata Irfan. (Mistqola)