Suara Karya

Skema Power Wheeling Dinilai Berpotensi Liberalisasi Kelistrikan Nasional

“Skema power wheeling akan meliberalisasi sektor kelistrikan, serta dapat mengurangi peran PLN. Dikhawatirkan, skema ini juga berdampak pada harga listrik,” kata Mulyanto di Jakarta, Kamis (1/8/2024).
Power wheeling merupakan mekanisme transfer energi listrik dari pembangkit swasta ke fasilitas operasi milik negara/PLN dengan memanfaatkan jaringan transmisi/distribusi PLN.

Mulyanto mengatakan RUU EBET merupakan inisiatif DPR. Hanya saja saat pembahasan di DPR ada sejumlah usulan dari pemerintah untuk dimasukkan dalam pembahasan RUU EBET, salah satunya pasal tentang power wheeling.

“Selama pembahasan lebih dari satu tahun, RUU EBET, yang belum selesai pasal tentang power wheeling tersebut,” ujar Mulyanto dalam diskusi bertajuk “Menyoal Penerapan Skema Power Wheeling dalam RUU EBET”.

Sementara itu, Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development Indef Abra Talattov mengatakan usulan skema power wheeling sebagai pemanis atau sweetener dalam menstimulasi investasi pembangkit EBT tidak memiliki urgensi sama sekali.

“Tanpa adanya gula-gula pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik, pemerintah sebetulnya sudah menggelar karpet merah bagi swasta untuk memperluas bauran EBT sebagaimana yang dijaminkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik
(RUPTL) 2021-2030,” katanya.

Ia menjelaskan dalam RUPLT itu, target tambahan pembangkit EBT mencapai 20,9 gigawatt (GW) dengan porsi swasta mencapai 56,3 persen atau setara dengan 11,8 GW.

Artinya, dengan menjalankan RUPTL 2021-2030 secara konsisten saja, secara
alamiah bauran pembangkit EBT hingga akhir 2030 akan mencapai 51,6 persen.

Ide penerapan skema power wheeling, menurut Abra, menjadi tidak relevan mengingat saat ini beban negara yang semakin berat menahan kompensasi listrik akibat kondisi oversupply listrik yang terus melonjak.

Saat ini, kondisi sektor ketenagalistrikan terjadi disparitas yang lebar antara supply dan demand listrik, yang mana diproyeksikan oversupply listrik pada 2022 menyentuh 6-7 GW.

“Situasi oversupply listrik tersebut berpotensi makin membengkak karena masih adanya penambahan pembangkit baru hingga 16,3 GW pada 2026 sebagai implikasi dari megaproyek 35 GW,” rincinya.

Menurut Abra, risiko tambahan beban APBN juga dapat muncul karena adanya potensi tambahan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik sebagai konsekuensi masuknya pembangkit listrik dari skema power wheeling yang bersumber dari energi terbarukan yang bersifat intermiten.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara menyatakan, kebijakan Power Wheelingdalam peraturan pemerintah (PP) Nomor 14 tahun 2012 tentang kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 karena merugikan bisnis BUMN.
“Ketentuan Power Wheeling dalam PP No.14/2012 telah melanggar Pasal 33 UUD, serta menyabot hak monopoli dan menggerogoti bisnis BUMN,” ujar Marwan.
Marwan menjelaskan, masuknya skema Power Wheeling ke dalam RUU EBET menjadi pintu masuk kepentingan oligarki yang sarat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). “Belajar dari praktik telah berlangsung selama ini, pendekatan kekuasaan oligarkis dan diduga sarat KKN telah banyak terjadi pelanggaran prinsip-prinsip berbangsa dan bernegara tersebut,” katanya.
Menurut dia, skema ini mungkin dapat memberi manfaat bagi kelistrikan Indonesia, terutama guna memenuhi kebutuhan listrik yang tinggi di satu sisi dan kebutuhan investasi di sisi lain. Investor memang perlu diberi insentif. Namun, tidak berarti kebutuhan investasi ini, dan cara memperolehnya dilakukan at any costs.
“Jika skema Power Wheeling adalah salah satu cara meraih minat investor, maka tetap saja ketentuan atau norma yang mengatur penerapannya harus tunduk pada prinsip-prinsip moral, berkeadilan bagi seluruh rakyat, bebas moral hazard, sesuai prinsip GCG, bebas praktik pendekatan kekuasaan otoriter, bebas kepentingan oligarkis, serta tunduk kepada amanat konstitusi dan perintah UU,” ujar Marwan.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep), Bisman Bhaktiar menyebut skema ini menjadi pintu masuk kembalinya sistem pengusahaan unbundling yang mengarah kepada privatisasi, kompetisi dan liberalisasi ketenagalistrikan. Keran itu tidak mungkin dimasukkan ke dalam RUU EBET.
“Masalahnya Power Wheeling tidak bisa diterapkan dalam RUU EBT. Pengaturan PowerWheeling dalam RUU EBT merupakan pintu masuk untuk kembali ke sistem pengusahaan unbundling unbundling yang akan mengarah pada privatisasi, kompetisi, dan liberalisasi ketenagalistrikan,” kata Bisman. (Boy)

Related posts