JAKARTA (Suara Karya): Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) merilis hasil studi PISA 2022, di Jakarta, Selasa (5/12/23).
Hasil PISA 2022 menunjukkan peringkat hasil belajar literasi Indonesia naik 5 sampai 6 posisi dibanding PISA 2018. Peningkatan itu merupakan capaian paling tinggi secara peringkat (persentil) sepanjang sejarah Indonesia mengikuti PISA.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim mengatakan, peningkatan peringkat itu menunjukkan ketangguhan sistem pendidikan Indonesia dalam mengatasi hilangnya pembelajaran (learning loss) akibat pandemi covid-19.
Untuk literasi membaca, peringkat Indonesia di PISA 2022 naik 5 posisi dibanding sebelumnya. Untuk literasi matematika, peringkat Indonesia di PISA 2022 juga naik 5 posisi, sedangkan literasi sains naik 6 posisi.
Peningkatan posisi Indonesia pada PISA 2022 mengindikasikan resiliensi yang baik dalam menghadapi pandemi covid-19. Skor literasi membaca internasional di PISA 2022 rata-rata turun 18 poin, sedangkan skor Indonesia hanya turun 12 poin.
“Itu merupakan penurunan dengan kategori rendah dibanding negara-negara lain,” ujar Nadiem.
Direktur untuk Pendidikan dan Keterampilan, Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Cooperation and Development, OECD), Andreas Schleicher memuji ketangguhan sistem pendidikan Indonesia, terutama di saat pandemi covid-19.
Beberapa tahun terakhir, menurut Andreas, merupakan masa yang sangat sulit. Namun, peserta didik Indonesia secara umum berhasil mempertahankan kualitas hasil pembelajaran dalam nilai PISA mereka.
“Selamat kepada Indonesia yang berhasil menjaga kualitas hasil pembelajaran. Hasil PISA juga menunjukkan guru di Indonesia memberi dukungan yang baik kepada muridnya selama pandemi,” ucap Andreas.
Indonesia mengikuti PISA sejak pertama kali diselenggarakan pada 2000. Keikutsertaan dalam PISA memungkinkan Indonesia memantau kualitas pendidikan dari waktu ke waktu dan membandingkannya dengan negara lain.
PISA diselenggarakan setiap tiga tahun oleh OECD untuk mengukur literasi membaca, matematika, dan sains pada murid berusia 15 tahun. Pada 2022, PISA diikuti 81 negara, yang terdiri dari 37 negara OECD dan 44 negara mitra.
Selain menggunakan PISA, sejak 2021 Indonesia melaksanakan Asesmen Nasional (AN) untuk memetakan kualitas pendidikan di setiap sekolah dan daerah secara lebih komprehensif.
Dalam paparannya, Nadiem menjelaskan, kecilnya ‘learning loss’ pendidikan di Indonesia mencerminkan ketangguhan para guru, yang didukung Kemdikbudristek melalui berbagai program penanganan pandemi.
Alasan pertama berkaitan dengan akses daring. Bantuan kuota internet diberikan kepada lebih dari 25 juta murid dan 1,7 juta guru agar dapat mengakses materi dan melaksanakan pembelajaran secara daring.
Faktor lain yang mendorong kenaikan peringkat Indonesia pada PISA 2022 adalah pelatihan guru yang disediakan Kemdikbudristek melalui Platform Merdeka Mengajar, yang disertai materi pembelajaran secara daring dan hibrida (hybrid).
“Berbagai materi pembelajaran dibuat untuk membantu guru melaksanakan pembelajaran di masa pandemi. Hal itu mencakup materi ‘Belajar dari Rumah’ di TVRI, modul asesmen diagnostik untuk mengukur literasi dan numerasi, modul pembelajaran literasi dan numerasi,” ucap Nadiem.
Terobosan yang tak kalah penting adalah pemberlakuan Kurikulum Darurat yang lebih sederhana, sehingga guru dapat fokus pada pembelajaran yang lebih mendalam, terutama pada penguatan literasi dan numerasi peserta didik.
“Penyederhanaan materi kurikulum efektif memitigasi learning loss. Sekolah yang menggunakan Kurikulum Darurat mengalami 1 bulan learning loss, dibanding 5 bulan di sekolah yang menerapkan Kurikulum 2013 secara penuh,” kata Nadiem.
Penyederhanaan materi menjadi salah satu prinsip utama dalam merancang Kurikulum Merdeka. Kurikulum tersebut mengurangi materi wajib di berbagai mata pelajaran, agar guru punya waktu lebih untuk menggunakan pembelajaran yang mendalam, interaktif, dan berbasis projek.
Kurikulum Merdeka, menurut Nadiem, mendukung guru melakukan asesmen diagnostik dan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan tiap murid. Buku teks Kurikulum Merdeka juga memuat lebih banyak aktivitas yang dirancang mengasah daya nalar.
“Dengan demikian, pembelajaran dengan Kurikulum Merdeka tidak lagi berorientasi pada penyampaian materi, tapi mengasah kompetensi dan karakter murid,” katanya.
Andreas Schleicher dari OECD juga menyampaikan optimismenya pada gerakan Merdeka Belajar. “Gerakan yang diinisiasi Kemdikbudristek telah menempatkan Indonesia pada arah yang tepat menuju perbaikan kualitas pendidikan,” ucap Andreas.
Peneliti Program Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI), Rasita Purba, menyampaikan hasil studi INOVASI guru yang menerapkan asesmen diagnostik secara berkala dan menyesuaikan pembelajaran sesuai kemampuan dan kebutuhan peserta didik, sehingga pemulihan hasil belajar bisa tiga bulan lebih cepat.
“Kurikulum yang menekankan pada kompetensi esensial dan memberi otonomi pada guru untuk menyesuaikan kurikulum dan pembelajarannya, hasil pemulihan pembelajaran bisa dua kali lebih cepat,” pungkas Rasita. (Tri Wahyuni)