JAKARTA (Suara Karya): Program pendidikan seharusnya tak hanya menjalankan proyek, tetapi membangun proses yang tumbuh dari kebutuhan nyata dan didukung oleh kolaborasi yang kuat di lapangan.
Hal itu terungkap dalam Lokakarya Pengembangan Program Pendidikan Daerah, yang digelar Dinas Pendidikan DKI Jakarta, di Jakarta, Kamis (15/5/25).
Lokakarya tersebut merupakan bagian dari rangkaian Konferensi Pendidikan Indonesia, yang diinisiasi Guru Belajar Foundation (GBF).
Ketua GBF, Bukik Setiawan mengajak peserta dari berbagai daerah untuk meninjau kembali cara merancang program pendidikan.
Disebutkan, 5 prinsip dasar dalam merancang program pendidikan daerah yang relevan, berdampak, dan berkelanjutan.
Prinsip pertama, lanjut Bukik, perlunya mengakui tantangan adaptif dalam pendidikan. “Program pendidikan sering gagal berdampak, karena dirancang seolah hanya perlu solusi teknis, padahal banyak hambatan muncul dari kebiasaan lama, nilai yang mengakar, atau cara pikir yang belum berubah,” ujarnya.
Untuk itu, perancang program perlu memahami bahwa memperbaiki pendidikan tak cukup dengan pelatihan atau distribusi alat, tapi harus menyasar perubahan cara kerja dan budaya sekolah.
Prinsip kedua, merancang program sebagai proses belajar. Program pendidikan perlu dirancang sebagai ruang pembelajaran bersama.
“Itu artinya, terbuka terhadap umpan balik, fleksibel terhadap dinamika lapangan, dan siap disesuaikan seiring berjalannya waktu,” katanya.
Ditambahkan, keberhasilan bukan hanya tercapainya target kegiatan, tetapi juga sejauh mana program membantu sekolah dan guru belajar hal baru yang lebih bermakna.
“Tidak seperti proyek infrastruktur yang menuntut ketepatan dari awal hingga akhir, program pendidikan justru perlu terus diuji, disesuaikan, dan diperbaiki berdasarkan pengalaman serta suara dari para pelaku pendidikan,” ujar Bukik.
Prinsip ketiga, perlunya menjadikan partisipasi sebagai pondasi program. Pelibatan guru, kepala sekolah, orangtua, dan komunitas dalam perancangan dan pelaksanaan program bukan penghambat, tapi justru kunci keberhasilan.
“Program yang tumbuh dari dialog dengan pelaku pendidikan jauh lebih relevan dan bertahan lebih lama, dibandingkan program yang hanya dibawa dari atas,” tuturnya.
Prinsip keempat, membangun dukungan melampaui struktur formal. Karena keberhasilan program pendidikan tidak ditentukan seberapa kuat instruksi birokrasi, melainkan seberapa besar dukungan dari orang-orang yang akan menjalankannya.
“Perubahan adaptif bergantung pada kredibilitas, relasi, dan keberanian mengambil resiko. Karena itu, program perlu didesain dengan komunikasi yang jelas, membangun kepercayaan, dan ruang kolaborasi antar pelaku,” katanya.
Prinsip terakhir, bagaimana mengelola ketidaknyamanan yang menyertai program. Karena rutinitas berganti, ekspektasi berubah, dan rasa aman terganggu.
“Jika hal itu tidak diakui dan dikelola, resistensi bisa tumbuh diam-diam. Program yang berhasil adalah program yang menyediakan ruang untuk mendengar keberatan, memberi waktu beradaptasi, dan mendampingi secara manusiawi,” katanya.
Bukik kembali menegaskan, pendidikan tidak bisa dibangun hanya dengan kegiatan. “Ia tumbuh melalui relasi, refleksi, dan keberanian mengelola kompleksitas,” pungkasnya. (Tri Wahyuni)