Suara Karya

Nenek di Bekasi Minta Keadilan atas Penyerobotan Tanah, Kuasa Hukum Desak Kapolri Gelar Perkara Khusus

BEKASI (Suara Karya): Perjuangan panjang Dariatmaja (78), seorang nenek yang merupakan istri almarhum D. Santono pemilik sah sertifikat hak milik (SHM) Nomor 131 atas tanah seluas 17.000 m² di Margajaya, Bekasi, masih terus berlanjut. Meski telah menang hingga tingkat Mahkamah Agung, tanah miliknya belum juga bisa dinikmati lantaran diduga diserobot dan kini jadi objek sengketa dengan oknum yang menggunakan dokumen-dokumen diduga palsu.

Tim kuasa hukum Dariatmaja, Upe Taufani Mokoagow dan rekan, menegaskan bahwa pihaknya tak akan menyerah. Setelah upaya hukum di tingkat penyidikan kandas karena keluarnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), kini langkah hukum akan diarahkan pada gelar perkara khusus di Mabes Polri dan audiensi dengan Komisi III DPR RI.

“Ini belum akhir dari perjuangan kita. Kita akan pakai jalur audiensi dengan Komisi III. Kita juga akan meminta kepada Kapolri untuk melakukan gelar perkara khusus agar penyelidikan bisa dilanjutkan di Mabes Polri, mengingat ada indikasi kuat keterlibatan oknum dalam proses penyidikan sebelumnya,” kata Upe di Jakarta, Kamis (19/6/2025).

Upe memaparkan, pihaknya mengalami kejanggalan ketika penyidik Polda Metro Jaya hendak menyita barang bukti berupa akta jual beli dan girik yang diduga palsu. Alih-alih dibantu, penyidik justru menghadapi laporan tandingan dari pihak terlapor ke Bareskrim Polri.

“Mereka membuat laporan tandingan ke Bareskrim, bukan ke Polda. Dari sana, Bareskrim malah membuat rekomendasi agar kasus ini di-SP3-kan. Padahal intinya kami hanya ingin agar akta jual beli itu diuji keasliannya lewat laboratorium forensik. Kenapa keadilan harus terhenti karena hal seperti ini?” imbuhnya.

Upe menduga ada skenario sistematis yang dilakukan oleh mafia tanah untuk menggagalkan penegakan hukum. Bahkan, sertifikat sah milik kliennya bisa dibatalkan hanya berdasarkan dokumen girik yang meragukan keabsahannya.

“Mereka tidak beli tanah, tapi beli oknum. Kami mendesak Kapolri, Menteri ATR/BPN, dan Presiden Prabowo untuk serius membongkar mafia tanah. Ini bukan cuma soal hak atas tanah, ini soal wibawa negara dan perlindungan hukum bagi rakyat kecil,” tegasnya.

Seruan Haru Sang Nenek

Dalam kesempatan yang sama, Dariatmaja tak kuasa menahan tangis saat menyampaikan keluh kesahnya di hadapan awak media.

“Saya sudah tua, sudah 78 tahun. Saya cuma ingin menikmati tinggalan suami saya. Tapi malah terus-menerus dianiaya oleh mafia tanah. Saya nggak ngerti hukum. Tolong bantu saya, sampaikan ke Pak Presiden, ke Pak Prabowo. Katanya mau berantas mafia, tolong saya juga,” ujar Dariatmaja dengan suara bergetar.

Ia menyatakan keheranannya atas keputusan hukum yang justru menolak gugatan dirinya, padahal ia sudah memiliki sertifikat sah sejak tahun 1971, sementara lawannya hanya bermodalkan girik dari tahun 1984.

“Saya menang di pengadilan, tapi tak bisa eksekusi. Kok bisa negara ini begitu? Apa sertifikat itu tak ada artinya? Tolong saya, tolong sampaikan,” ucapnya dengan lirih.

Upaya Selanjutnya

Kuasa hukum menyatakan telah menyiapkan surat resmi kepada Kapolri, Komisi III DPR RI, Irwasum Polri, dan Karowasidik, guna mendorong dibukanya kembali perkara melalui gelar khusus atau praperadilan.

“Kami akan laporkan juga jika ada indikasi pelanggaran dari oknum penyidik, pejabat BPN, atau siapa pun yang terlibat. Negara harus hadir untuk melindungi rakyat dari mafia tanah,” tutup Upe.

Kasus ini menjadi potret nyata betapa masih banyak rakyat kecil yang harus berjuang keras hanya untuk mempertahankan hak milik yang sah di mata hukum, namun kerap kalah oleh permainan dokumen dan kekuatan oknum. (Boy)

 

Related posts