Suara Karya

Perang Melawan ‘Cyberbullying’, UPER Edukasikan Literasi Digital

JAKARTA (Suara Karya): Universitas Pertamina (UPER) sejak awal berdiri hingga kini akan aktif menyuarakan isu perundungan siber (cyberbullying) baik di dalam maupun luar kampus. Bahkan, isu tersebut masuk dalam mata kuliah yang diajarkan, yaitu literasi media dan digital.

“Kami ajak mahasiswa untuk bijak menggunakan media digital. Kami juga nyatakan perang melawan perundungan siber baik di dalam maupun luar kampus,” kata Pjs Rektor UPER, Budi W Soetjipto, PhD di Jakarta, Selasa (28/2/23).

Jika terjadi perundungan, lanjut Budi Soetjipto, UPER menyediakan layanan konseling bagi para korban. Mahasiswa juga diminta melapor terduga pelaku ke komisi etik, yang selanjutnya akan dilakukan pembinaan oleh Fungsi Kemahasiswaan,” ucapnya.

Selain itu, lanjut Budi Soetjipto, mahasiswa juga dibekali pengetahuan seputar tindak kejahatan yang muncul akibat penggunaan media digital. Salah satunya perundungan siber.

Mahasiswa Program Studi Komunikasi UPER diminta giat melakukan kampanye melawan perundungan siber. Kegiatan itu dilaksanakan di sejumlah sekolah, mulai dari sekolah dasar hingga menengah ke atas.

Kampanye yang dilakukan UPER belum lama ini di SMAN 29 Jakarta, SMAN 58 Jakarta dan SMAN 31 Jakarta.

Dosen Prodi Komunikasi UPER sekaligus praktisi media sosial, Ita Musfirowati Hanika memaparkan, perundungan siber yang marak terjadi biasanya dipicu oleh ketidakcakapan para pengguna teknologi, rendahnya kontrol diri, dan kurangnya pengetahuan terhadap tindakan kriminal.

“Pada dasarnya perundungan di media sosial terjadi karena rendahnya tingkat literasi digital masyarakat,” ujar Ita.

Seperti diketahui, saat ini pendidikan literasi digital masih belum merata di Indonesia. Kebanyakan baru bisa ditemui di kota-kota besar. Akibat ketimpangan itu, banyak masyarakat yang belum tahu etika bermedia sosial yang berujung pada tindak kekerasan siber.

Menurut Ita, seseorang yang menjadi target cyberbullying biasanya menerima pesan-pesan bermuatan negatif atau ujaran kebencian dari akun anonim.

“Jika terjadi terus-menerus dalam jangka waktu lama, bukan tidak mungkin korban mengalami gangguan mental seperti depresi, memiliki masalah kepercayaan diri, hingga sulit beradaptasi,” tuturnya.

Selain membahas cyberbullying, Ita memberi tips cara penanganan cyberbullying melalui kepandaian dalam menggunakan media sosial. “Di era digital, kemampuan menyaring informasi dan menahan diri untuk posting atau berkomentar menjadi kunci agar tidak menjadi pelaku atau korban perundungan siber,” kata Ita.

Hari Melawan Perundungan (bully) Sedunia diperingati masyarakat internasional setiap 24 Februari. Di Indonesia, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut sepanjang 2022 telah terjadi 226 kasus kekerasan fisik dan perundungan.

Di dunia maya, perundungan digital atau cyberbullying semakin mengkhawatirkan.

UNICEF dalam laporan ‘Bullying in Indonesia’ pada 2020 menemukan 45 persen anak usia 14-24 tahun menderita perundungan siber. Pelecehan melalui aplikasi chatting menduduki porsi terbesar (45 persen), diikuti penyebaran foto/video pribadi tanpa izin (41 persen).

Ironisnya, The National Council on Crime Prevention (2020) mengungkap 81 persen pelaku mengaku mendapat kepuasan diri jika melakukan perundungan melalui internet. (Tri Wahyuni)

Related posts